Denpasar – Sebanyak 21 Pengempon Puri Agung Denpasar (Puri Satria) dilaporkan ke Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Kepolisian Daerah (Polda) Bali, atas dugaan Tindak Pidana (TP) Penipuan dan Keterangan Palsu ke dalam akta autentik sebagaimana dimaksud Pasal 378 KUHP dan 266 KUHP.

Dalam kesempatannya, Nyoman Suarsana (67) didampingi Penasihat Hukum (PH) I Made Dwiatmiko Aristianto, SH, MKn, CMSP, CNSP, selaku pelapor menerangkan, sebanyak 21 Pengempon Puri Satria tersebut berinisial, AANOR, AAGNP, AAGA, AANMM, AANBB, AANR, AANAT, AASAJG, AANAAP, AANAK, AAARS, AABR, AAGDD, AANGAJ, TNPW, TND, TNBA, TNAA, AASIAWG, CGP, dan CNPA, dilaporkan atas dugaan TP 378 berdasarkan Laporan Polisi (LP) nomor: LP/B/120/III/2023/SPKT/POLDA Bali tertanggal 8 Maret 2023.

Usut punya usut pelaporan tersebut dilakukan Suarsana, merupakan tindak lanjut atas sengketa Tanah Laba Pura Merajan Satria berada di daerah Sumerta Kelod Denpasar Timur, Jalan Badak Agung, yang dibelinya dengan SHM Nomor 5671 seluas 11.671 M2 dan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1565 dengan luas 6670 M2 pada tahun 2014 lalu.

Singkatnya, diduga tanah 1565 ini masih dalam sengketa, di mana pada tahun 1998 sempat ada gugatan dari pihak Budhi Moeljono dengan pihak Pengempon Laba Pura Puri Satria Denpasar, dan sudah ada putusan pengadilannya.

Puri Satria diketahui melakukan perlawanan hingga ke tingkat kasasi di tahun 2004, lalu dimenangkan Puri Satria. Pada tahun 2014 pihak Puri Satria Denpasar diduga menjual tanah dimaksud ke pihak Nyoman Suarsana Hardika. Lalu pada tanggal 3 Juli 2014, Nyoman Suarsana Hardika dan seluruh pihak pengempon mengaku telah sepakat atas jual beli dua bidang tanah dengan nomor kedua SHM, atas nama Laba Pura Merajan Satria.

Baca Juga  Terkait Sengketa Kelecung, Tjok Wah Menyayangkan Sikap Penggugat Mengatasnamakan Puri

“Pihak pengempon telah memastikan tanah Laba Pura Merajan Satria, boleh untuk dijual melalui surat rekomendasi penjualan dari Walikota Denpasar Nomor: 593/1727/PEM/Tanggal 2 Nop 2012, dan Surat Rekomendasi Penjualan dari Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Kota Denpasar, Nomor: 161/Rekomendasi/PHDI-KD/2012 tertanggal 1 Nopember 2012. Terhadap SHM Nomor 1565 seluas 6670 M2 bahwa pihak pengempon sepakat dari total luas tanah 6670 M2 itu akan digunakan sebagai jalan oleh Pak Nyoman Suarsana Hardika sebagai pembeli, seluas 1445 M2. Sehingga, Nyoman Suarsana hanya harus membayar ke pihak pengempon seluas 5.225 M2,” rinci I Made Dwiatmiko Aristianto, selaku pengacara dari pelapor, kepada wartawan pada Kamis (22/6/2023).

Disebutkan Dwiatmiko, bahwa telah ada kesepakatan antara pihak pengempon dan Nyoman Suarsana, terkait jual beli tanah tersebut dengan harga dua bidang tanah, untuk harga SHM 5671 sebesar Rp400 juta per arenya dengan total nilai jual sebesar Rp46 miliar lebih, dan SHM Nomor 1565 seharga Rp450 juta per arenya, dengan nilai total Rp23 miliar lebih.

“Sepakat pada 3 Juli 2014, di mana pengugat melakukan pembayaran terhadap pihak Puri dengan rincian pembayaran SHM 5671, sebesar Rp20 miliar dengan menggunakan sistem pembayaran cek bilyet giro Bank Internasional Indonesia, dan pembayaran down payment SHM 1565 sebesar Rp3,8 miliar lebih dengan cek bilyet giro. Kemudian, pada 11 Agustus 2014 pihak Nyoman Suarsana selaku pembeli telah melakukan pelunasan terhadap tanah SHM 5671 sebesar Rp 20 miliar lebih. Sedangkan, terhadap SHM 1565 pihak pengempon menyampaikan kepada pihak notaris dan Pak Nyoman Suarsana selaku pembeli menyebutkan sertifikat itu hilang (padahal sebelumnya penjelasan ke notaris, pengempon sebut sedang diurus pergantian sertifikat, red),” ulasnya.

Baca Juga  Babak Baru Sengketa Pelaba Pura Dalem Balangan, Sejumlah Pihak Terancam Dipidana

Lebih lanjut pada 15 Agustus 2014, dilakukanlah perjanjian jual beli terhadap sebidang tanah dengan SHM 1565 seluas 6670 M2, untuk mengikat pihak pengempon dan pihak pembeli. Namun, terhadap SHM 1565 pihak Nyoman Suarsana mengaku belum dapat melakukan pelunasan karena pihak pengempon beralasan sertifikat tersebut dinyatakan hilang.

“SHM 5671 seluas seluas 11.671 M2, yang sudah dibayarkan lunas telah diterbitkan SHM atas nama Nyoman Suarsana Hardika, dan berdasarkan akta jual beli Nomor 358/2015 tertanggal 22 Juli 2015 yang dibuat di pejabat yang berwenang. Terhadap SHM 1565 pihak Nyoman Suarsana belum dapat melakukan pelunasan karena pihak pengempon (Puri Satria, red) belum menemukan sertifikat yang dinyatakan hilang oleh pengempon Puri Satria. Maka, atas dasar kepercayaan, pihak Pak Nyoman Suarsana memberikan DP (Deposit Payment, red). Atas kejadian tersebut lah Nyoman Suarsana melakukan pelaporan ke Polda Bali dan menuntut tanggung jawab dari pihak Puri Satria terkait permasalahan yang terjadi. Menurut informasi, sejumlah pengempon Puri Satria selaku terlapor dalam kasus ini, dikatakan juga sudah menjalani pemeriksaan oleh Penyidik Ditreskrimum Polda Bali.

“Yang datang, yang saya kenal ada Pak Puspayoga, dan Cok Bagus pada 2 April dan 7 April 2023. Hasilnya, sepakat membayar lunas SHM 1565 ini dipotongkan Rp10 milliar untuk melunasi hutang Cokorda Samirana kepada Budhi Moeljono. Faktanya, tiga hari sebelum kita ketemu di Notaris, 26 April 2023, pada 23 April 2023 komunikasi lewat WhatsApp, Pak Puspayoga masih mengatakan sesuai kesepakatan tanggal 7 April 2023 itu. Tapi, tanggal 26 April 2023 beliau diwakilkan oleh semetonnya yang lain (Cok Bagus, red). Rencananya perdamaian di notaris akhirnya gagal, sehingga kami melanjutkan laporan ini,” ungkapnya.

Baca Juga  Warga Kesambi Baru Datangi BPN Pertanyakan Balai Pertemuan Terbit SHM

Sementara itu, dikonfirmasi terpisah, salah satu pengempon Puri Satria yang juga terlapor dalam kasus ini, Drs. Cokorda Ngurah Bagus Agung membenarkan adanya pemeriksaan oleh Penyidik Polda Bali. Dirinya mengatakan juga sudah melakukan pertemuan kepada pihak Nyoman Suarsana untuk melakukan mediasi, tetapi belum menemui penyelesaian.

“Saya mengetahui saat usaha untuk berdamai, nah seminggu ini karena damai yang kita niati, tentunya atas kedua belah pihak terkait. Nyatanya, itu belum ketemu damainya, sehingga saya tidak mau lanjut mengurus itu. Dari pihak semeton sementara ini menyerahkan kepada konsultan hukum, belum mencari pengacara. Belum menemui ujungnya, karena kami berbanyak orang dan kuasa damai itu diminta kita untuk bernegosiasi sebelum penandatanganan. Di sana oleh pihak lawan tidak diberikan nego sebelum ada surat kuasa,” imbuhnya, saat dikonfirmasi langsung melalui telepon, Kamis (22/6/2023).

Dirinya berharap persoalan ini segera dapat terselesaikan, agar tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan di internal keluarga Puri Satria.

“Saya kenal (Pak Nyoman Suarsana, red) setelah ada transaksi. Kedua belah pihak, sebenarnya tidak ada masalah, ini kan karena ada pihak ketiga (Pihak di Solo, red). Itu saja yang bisa saya sampaikan, supaya di internal keluarga saya tidak salah,” tutup Cok Bagus.

Reporter: Krisna Putra
Editor: Ngurah Dibia