Banyak Tanah Adat Jadi Sengketa, Dr Wirawan: Karena Serakah!
Denpasar – Praktisi hukum adat, Dr I Ketut Wirawan menilai maraknya gugatan terhadap tanah adat terjadi karena keserakahan manusia era saat ini. Menurutnya dahulu, didasari semangat ngayah atau gotong royong, maka tanah adat diberikan untuk dikelola oleh warganya yang ngayah di desa.
“Dulu masih didasari semangat ngayah, karena tanah adat diberikan (dikelola) kepada warganya yang ngayah di desa. Sekarang hal itu digugat oleh generasi penerusnya, karena beranggapan tanah tersebut sudah disertifikat atas nama orang tua mereka. Harusnya mereka malu,” ujarnya di Denpasar, Kamis (27/7/23).
Lebih lanjut, Ketua Yayasan Dwijendra ini menjelaskan keserakahan tersebut terjadi karena tanah saat ini sudah menjadi komoditi ekonomi. “Keserakahan itu terjadi karena motif ekonomi dimana tanah dianggap sebagai barang mahal, sehingga di zaman sekarang banyak sekali tanah adat dipersoalkan,” tambahnya.
Dirinya menjelaskan bahwa tanah di Bali memiliki perbedaan karena di Bali, tanah dibagi menjadi tiga. “Tanah di Bali dibagi menjadi tiga yaitu tanah adat, tanah pribadi serta tanah negara jadi di Bali ada keunikan tersendiri dalam bidang pertanahan,” tegasnya.
Dirinya berharap agar warga berhenti mempersoalkan tanah terutama tanah adat, karena akan menimbulkan masalah.
“Jangan mempersoalkan tanah terutama tanah adat kita di Bali mengenal konsep hukum karma phala (sebab akibat, red) dan kita meyakini karma itu ada,” tutupnya.
Sebelumnya, dosen Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, Dr I Made Pria Dharsana menyebut maraknya sengketa tanah akhir-akhir ini karena tanah sudah menjadi komoditi ekonomi.
“Kita bisa lihat latar belakang dari maraknya kasus sengketa tanah akhir-akhir ini karena tanah sudah menjadi komoditi ekonomi,” ucapnya kepada wacanabali.com, Sabtu (22/7/23).
Kondisi ini menurutnya, diperparah kemunculan sertifikat ganda yang memancing orang-orang dengan niatan tidak baik menggunakan kelemahan itu untuk menguasai tanah yang diinginkan.
Kemunculan sertifikat-sertifikat ganda ini katanya, terjadi karena adanya permainan terstruktur dari para oknum nakal. “Mafia tidak bisa bekerja sendiri sudah pasti ada bantuan dari oknum baik di Badan Pertanahan Nasional (BPN) maupun notaris,” tegasnya.
Reporter: Dewa Fathur
Editor: Ady Irawan

Tinggalkan Balasan