Tanah Pura Jadi Objek Sengketa, Jro Mangku Swagina: Awas Durhaka!
Denpasar – Praktisi agama Hindu, Jro Mangku Swagina mengingatkan para penggugat tanah pelaba (aset) pura agar tidak durhaka. Pernyataan tersebut diungkapkan menanggapi maraknya tanah pura menjadi objek sengketa akhir-akhir ini.
“Tuhan maha pengasih tidak mungkin mudah menyakiti umatnya, akan tetapi bisa saja dia (penggugat,red) durhaka karena menjadikan tanah pura objek sengketa,” ujarnya kepada wacanabali.com, Senin (31/7/2023).
Lebih lanjut dirinya menjelaskan bahwa durhaka tersebut terjadi jika, tanah pura yang menjadi sengketa sudah dihibahkan oleh orang tua penggugat.
“Mereka durhaka karena tanah tersebut mungkin sudah dihibahkan ke desa untuk dijadikan pura, ini harus dicari tahu dulu status tanah tersebut,” tambahnya.
Ia beranggapan bahwa ranah yang dijadikan pura itu, tidak mungkin baru ada 5 sampai 10 tahun lalu, pasti sudah ada puluhan bahkan ratusan tahun.
“Tanah menjadi pura terutama pura desa tidak mungkin baru ada 5-10 tahun belakangan pasti sudah ada puluhan bahkan ratusan tahun silam,” tegasnya.
Dirinya mempersilahkan generasi penerus dari tanah tersebut melakukan gugatan tapi harus sesuai alas haknya.
“Silahkan menggugat tapi harus dilihat dulu kebenaranya, bisa saja tanah itu sudah dihibahkan bertahun-tahun silam kenapa sekarang harus digugat, kasian leluhur yang sudah menghibahkan dibuat ingkar janji oleh keturunanya,” tutupnya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya Praktisi hukum adat, Dr I Ketut Wirawan menilai maraknya gugatan terhadap tanah adat terjadi karena keserakahan manusia era saat ini.
Menurutnya dahulu, didasari semangat ngayah atau gotong royong, maka tanah adat diberikan untuk dikelola oleh warganya yang ngayah di desa.
“Dulu masih didasari semangat ngayah, karena tanah adat diberikan (dikelola) kepada warganya yang ngayah di desa. Sekarang hal itu digugat oleh generasi penerusnya, karena beranggapan tanah tersebut sudah disertifikatkan atas nama orang tua mereka. Harusnya mereka malu,” ujarnya di Denpasar, Kamis (27/7/23).
Lebih lanjut, Ketua Yayasan Dwijendra ini menjelaskan keserakahan tersebut terjadi karena tanah saat ini sudah menjadi komoditi ekonomi.
“Keserakahan itu terjadi karena motif ekonomi dimana tanah dianggap sebagai barang mahal, sehingga di zaman sekarang banyak sekali tanah adat dipersoalkan,” tandasnya.
Reporter: Dewa Fathur
Editor: Ady Irawan

Tinggalkan Balasan