Joki Skripsi ‘Ketar-Ketir’, Mahasiswa Berpeluang ‘Merdeka’ Tentukan Tugas Akhir
Denpasar – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim secara resmi mengumumkan skripsi tak lagi menjadi syarat wajib bagi kelulusan mahasiswa S1 dan D4. Hal itu tentunya kantongi beragam komentar.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Pendidikan Prof Dr I Nengah Dasi Astawa, MSi, menilai keputusan digesernya peran skripsi sebagai satu-satunya syarat kelulusan justru dapat membantu mahasiswa dalam meningkatkan kompetensi di bangku kuliah.
“Jadi ini adalah peluang yang sangat bagus, karena kan skripsi bukan satu-satunya penentu seorang lulusan memiliki kualitas maupun sejenisnya. Jadi menurut saya ini adalah kebijakan yang sangat luar biasa,” cetusnya kepada Wacanabali.com, Kamis (30/8/23).
Menurutnya, dengan demikian mahasiswa akan lebih diuntungkan sebab ada beraneka macam tugas akhir yang kemungkinan disediakan oleh perguruan tinggi. Sehingga, mahasiswa dapat menyesuaikan dengan skill (kemampuan) yang ingin diasahnya.
“Kelemahannya hampir tidak ada, kelebihannya bahwa mahasiswa itu bisa berimprovisasi dan bisa memilih dan menentukan. Semisalnya kita buat skripsi tentang pemasaran, kan belum tentu kita paham pemasaran. Tapi kalau kita magang kan bisa dilihat dari sana kompetensinya,” kupasnya.
Mantan Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LL Dikti) Wilayah VIII Bali Nusra ini berpendapat, penerapan kebijakan baru di dunia pendidikan ini akan mendorong nalar berpikir kritis mahasiswa.
Skripsi Tidak Sekadar Urusan Formalitas
Selama ini, keberadaan skripsi kerap dianggap sebagai urusan formalitas. Sehingga, tak jarang ditemui mahasiswa yang melakukan berbagai upaya kecurangan seperti melakukan tindakan plagiasi, memodifikasi skripsi milik orang lain atau bahkan menggunakan jasa ‘joki’ untuk pembuatan skripsi. Kebijakan terkait dihapusnya skripsi sebagai syarat mutlak kelulusan mahasiswa S1 dan D4 diharapkan menjadi terobosan baru yang menyuguhkan beragam peluang bagi mahasiswa.
Skripsi bukan Dihilangkan, namun Digantikan
Tak sedikit yang ‘galfok’ (gagal fokus) dan menganggap kebijakan ini berarti meniadakan skripsi. Namun, faktanya keputusan terkait tugas akhir akan dikembalikan pada keputusan masing-masing perguruan tinggi.
“Itu adalah kebijakan internal, SKS (Satuan Kredit Semester, red) kan rata-rata 140-an SKS. Kalau sekarang kampus tidak mewajibkan skripsi kan sekarang diganti dengan yang lain agar bisa mencapai 140-an itu untuk syarat menjadi sarjana S1. Jadi bukan tidak ada penggantinya, untuk memenuhi kredit 140-an SKS itu,” rinci Prof. Dasi Astawa
Mahasiswa harus Bijak Menentukan Pilihan Tugas Akhir yang Disediakan Perguruan Tinggi
Meski nantinya keputusan jenis-jenis tugas akhir yang dapat ditentukan mahasiswa diatur oleh perguruan tinggi masing-masing, Prof. Dasi Astawa mengimbau setiap mahasiswa agar bijaksana menentukan tugas akhir apa yang akan dipilihnya kelak. Ia menyarankan, mahasiswa yang ingin menggali kemampuan critical thinking (berpikir kritis) dan problem solving (kemampuan menyelesaikan masalah) untuk memilih skripsi, menulis artikel ilmiah atau sejenisnya. Sedangkan, bagi mahasiswa yang ingin melatih kemampuan praktis disarankan untuk memilih magang atau hal lain yang berkaitan dengan itu.
“Sehingga sama-sama memiliki kompetensi yang baik di bidang keilmuan masing-masing,” tutup Direktur Politeknik elBajo Commodus ini.
Reporter: Komang Ari
Editor: Ngurah Dibia
Tinggalkan Balasan