Fenomena Kekerasan Seksual pada Anak di Bali Mencuat, Simak Penjelasannya!
Denpasar – Masyarakat Bali tengah dihebohkan pascamunculnya sederet peristiwa yang menyeret anak di bawah umur sebagai korban kekerasan seksual.
Diketahui sebelumnya, kekerasan seksual merujuk kepada setiap tindakan yang merugikan baik secara fisik maupun psikis serta berakibat terganggunya kesehatan reproduksi seseorang.
Berikut hal-hal yang perlu diketahui masyarakat terkait dengan maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi:
Fenomena Gunung Es
Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana (PKBI) Daerah Bali, Ni Luh Eka Purni Astiti, S.KM menjelaskan, mencuatnya pemberitaan kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es. Sehingga, diduga masih banyak kasus-kasus serupa yang belum dilaporkan.
“Ada dua sisi, jadi di satu sisi mungkin masyarakat semakin sadar akan kekerasan seksual dan satu sisi memang selama ini gunung es,” ungkapnya kepada wacanabali.com, Sabtu (2/8/23).
Pelaku Merupakan Orang Terdekat Korban
Seringkali, pelaku kekerasan seksual justru berasal dari lingkungan terdekat korban seperti tetangga, paman, bahkan orangtua. Adanya relasi kuasa tersebut, kata Eka Purni, akhirnya mempersulit langkah pelaporan dari korban kepada pihak berwajib.
“Karena sebagian besar kalau melibatkan kerabat apalagi relasinya orang tua dan anak itu juga tidak jarang didamaikan atas nama keluarga,” imbuhnya.
Kemudian di banyak kasus, ia menilai tak sedikit korban mendapatkan stigma dari masyarakat. Sehingga, berujung pada enggannya seseorang melaporkan tindakan kekerasan seksual yang dialaminya.
Korban Berisiko Tertular IMS dan Alami KTD
Korban kekerasan seksual berisiko tertular Infeksi Menular Seksual (IMS) dan alami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD).
Mirisnya, korban kekerasan seksual juga berpotensi alami gangguan psikis. Sehingga, diperlukan layanan-layanan kesehatan yang mampu memfasilitasi pendampingan pada korban.
Perlu Keseriusan Penanganan Pemerintah
Lebih lanjut, penggiat isu kesehatan reproduksi ini berharap, upaya pencegahan kekerasan seksual dapat diintervensi pemerintah melalui pengadaan kurikulum kekerasan seksual yang nantinya dapat diterapkan di Sekolah-sekolah, seluruh organisasi pemuda di Bali serta tersosialisasikan kepada setiap lini masyarakat.
Masyarakat yang terkapasitasi pengetahuan kesehatan reproduksi diharapkan mampu bertanggung jawab atas kesehatan dirinya serta menjadikan seseorang dapat menghargai keputusan orang lain atas tubuhnya.
Senada dengan hal itu, pemerhati anak Siti Sapurah berpendapat, perlunya pendidikan kesehatan reproduksi diberikan kepada anak sejak dini.
“Sedini mungkin anak diajarkan untuk melindungi dirinya, bagian-bagian tubuh apa yang tidak boleh disentuh orang lain. Ini jangan dianggap tabu,” imbuhnya.
Terakhir, penegak hukum dimintanya ‘gercep’ (gerak cepat) dalam menangani pelaporan atas dugaan tindak kekerasan seksual. “Jika penanganannya tidak serius, maka menjamurlah kejadian ini di Bali,” tandasnya.
Reporter: Komang Ari
Editor: Ady Irawan
Tinggalkan Balasan