Denpasar – Praktisi Hukum Adat I Made Somya Putra MH mengomentari masih maraknya kasus kasepekang (pengucilan sebagai warga adat, red) yang terjadi di Bali.

Menurutnya kasus kasepekang kerap kali dijadikan sebagai alat untuk memberi makan ego dari pihak yang berselisih, hal tersebut disampaikan saat diwawancarai oleh awak media wacanabali.com, Rabu (4/10/23).

“Karena faktor suka dan tidak suka kerap mendominasi dalam mengambil keputusan, hal inilah yang kerap kali dimanfaatkan sebagai alat oleh pihak yang berselisih,” ujarnya.

Dilansir dari ejournal.warmadewa.id kasepekang merupakan sanksi adat Bali, di mana si penerima sanksi akan dikucilkan, diasingkan atau diberhentikan dari kegiatan di desa (madesa adat, red). Hal ini dikarenakan si pelaku melanggar aturan desa adat berkali-kali (keterlaluan), sehingga sanksi ini dianggap pantas untuk diberikan.

Lebih lanjut dijelaskan jika dalam pengambilan keputusan tersebut dilakukan dengan rasa ego oleh pemangku kebijakan, akan menjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Baca Juga  Prof Raka Sudewi Sebut Hanya Tanda Tangan SK Rektor

Kasepekang bisa menjadi senjata oleh mereka yang memiliki kekuasaan di bidang itu, kalau itu dilakukan dengan kekuasaan yang dimilikinya akan terjadi pelanggaran HAM,” sambungnya.

Menurutnya di era sekarang kasepekang sudah tidak relevan lagi dilaksanakan, karena sering terjadi dalam pengambilan keputusannya mengedepankan emosi semata.

“Mengingat kasepekang yang sekarang lebih mengedepankan panca indria (kelima indra manusia) jadi jika hanya mendengar saja perbuatan buruk tersebut tanpa melihat yang pada dasarnya perbuatan buruk seseorang sering di nilai tanpa melihat sebab seseorang berbuat demikian,” terangnya.

Selain hal tersebut Made Somya merasa bahwa kasepekang akan memutus ayahan (hak kewajiban, kekerabatan dalam adat, red) yang sudah dilakukan oleh leluhur orang yang kasepekang.

“Ketidakrelevanan kasepekang pada era sekarang juga berdampak pada hilangnya ayahan yang sudah dilakukan oleh orangtua dan leluhur si korban kasepekang, hal inilah yang ditakutkan bahkan bisa membuat korban berpindah keyakinan,” imbuhnya.

Baca Juga  Denpasar Catat 322 Kasus DBD pada Februari 2025, PSN Dinilai belum Optimal

Ia menjelaskan bahwa sebelum mengambil langkah kasepekang sudah seharusnya memperhatikan berberapa asas dan langkah terakhir yang dilakukan agar si korban kasepekang sadar akan kesalahannya.

“Apakah kasepekang itu memang sudah alat terakhir untuk membuat orang sadar apakah itu keputusan yang diambil dari emosi tanpa memikirkan dampaknya serta hanya menuruti emosi sesaat itu harus dipikirkan lagi,” tutupnya.

Sementara itu Saat ditemui di dinas kebudayaan Kota Denpasar, Selasa (3/10/23). Ketua Majelis Desa Adat (MDA) Kota Denpasar, AA Ketut Sudiana menyampaikan mediasi tersebut tidak membuahkan hasil dan akan mengembalikannya ke paruman desa (rapat warga, red)

“Kami tadi sebagai mediator, tetapi belum membuahkan hasil, jadi kami serahkan kembali ke dua belah pihak untuk melakukan kesepakatan di paruman desa,” ujarnya.

Baca Juga  Tensi Panas Pemilu 2024, Sugawa Korry Ajak Kadernya Berpolitik Damai

Lebih lanjut dirinya menjelaskan sanksi kasepekang tersebut merupakan hak sepenuhnya dari prajuru (pengurus adat, red).

Kasepekang ini diatur dalam pasamuhan agung (musyawarah besar, red) jadi, hal yang dilakukan oleh krama desa dapat dikatakan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” pungkasnya.

Seperti yang ramai di media sosial telah terjadi kasus kasepekang yang menimpa warga Banjar Adat Gelogor Carik Denpasar Nyoman Wiryanta dan Wayan Putra Jaya sekeluarga, di mana kasus tersebut sedang dilakukan upaya mediasi yang difasilitasi oleh Majelis Desa Adat (MDA) Denpasar, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Denpasar, mediasi tersebut diadakan di kantor Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, akan tetapi belum menemukan titik temu alias deadlock.

Reporter: Dewa Fathur

Editor: Ngurah Dibia