Denpasar – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) diketahui tengah mengajukan judicial review (JR) terhadap Undang-Undang (Omnibus Law) Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebabnya, sejumlah pasal dalam undang-undang (UU) tersebut dinilai kontroversial dan mengancam profesi dokter dan tenaga medis.

“IDI pusat sedang mengupayakan JR ke MK hal ini dilakukan karena terdapat pasal dalam UU Kesehatan yang berpotensi mengancam profesi dokter yaitu Pasal 440 dan Pasal 308 tentang terbentuknya Majelis,” kata Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Denpasar, dr. I Ketut Widiyasa saat seminar hukum di Universitas Bali Internasional, Jumat (6/10/23).

Menurutnya dalam pembentukan majelis, Widiyasa mempertanyakan siapa yang akan mengisi kursi sebagai majelis serta tupoksinya.

Baca Juga  Kisruh UU Kesehatan, IDI Bali: Jangan Seperti ‘Tukang Sate’

“Ini harus jelas siapa yang mengisi apa kompetensinya sehingga dapat menentukan dokter dan tenaga kesehatan dapat disidik oleh aparat penegak hukum ini harus jelas,” sambungnya.

Ia menambahkan apapun hasil dari JR nanti dirinya akan mengikuti hasil tersebut terlepas disetujui atau tidaknya JR yang dilakukan oleh IDI pusat.

“Bagaimanapun nanti hasilnya. Kalau misalnya MK tidak mengabulkan JR. Kami akan legowo tapi harapan kami peraturan pelaksananya bisa lebih implikatif, lebih ramah, dan juga nanti bisa membuat masyarakat sejahtera, perlindungan hukum dan profesi,” tutupnya.

Sementara itu diwawancara terpisah kepala program studi hukum Universitas Bali Internasional (UNBI), Putu Harry Suandana Putra mengatakan terdapat beberapa poin yang menjadi kontroversi seperti dokter asing yang bisa praktik di Indonesia.

Baca Juga  Kisruh UU Kesehatan, IDI Bali: Jangan Seperti ‘Tukang Sate’

“berdasarkan statemen Menteri Kesehatan, Budi Sadikin mengatakan bahwa pada prinsipnya pemerintah melihat fakta kebutuhan dokter di Indonesia sangat tinggi, hal ini merujuk pada standar dimana perbandingan jumlah rakyat dengan dokter sangat timpang,” ujarnya.

Lebih jauh ia menjelaskan bahwa selama ini pemerintah telah berupaya melengkapi alat bantu untuk praktik kesehatan tetapi, yang menjadi persoalan adalah sumber daya manusia (SDM) dari dokter itu sendiri.

“Kendalanya adalah dokter yang bisa mengoperasikan ini datanya dikatakan oleh menteri adalah dibawah 10 persen. Jadi untuk menyiapkan tenaga dokter yang menghandle alat ini perlu waktu 15 tahun,” tandasnya.

Ketimpangan tersebut menjadi dasar dari pemerintah untuk memberikan izin kepada dokter asing untuk praktik di Indonesia tetapi ada standar yang harus diikuti.

Baca Juga  Kisruh UU Kesehatan, IDI Bali: Jangan Seperti ‘Tukang Sate’

Reporter: Dewa Fathur

Editor: Nyoman Ady