Denpasar – Maraknya calon legislatif (Caleg) boneka (Pelengkap syarat pencalegan) menuai sorotan di kalangan masyarakat salah satunya pengamat politik Ras Amanda. Ia mengatakan, hal tersebut khususnya sering terjadi terutama pada Caleg perempuan.

“Ya seperti yang kita ketahui dari partai sendiri memang dicari untuk memenuhi syarat kouta saja itu tidak bisa dipungkiri lagi, dan hal itu kerap menimpa Caleg perempuan,” ujarnya kepada wacanabali.com, Kamis (12/10/23).

Ia menambahkan dengan seringnya terjadi hal tersebut membuat adanya stigma di masyarakat mengenai Caleg perempuan hanya sebagai pelengkap syarat.

“Hal tersebut menjadi stigma negatif di masyarakat sehingga ada anggapan Caleg perempuan hanya menjadi pelengkap syarat administrasi,” sambungnya.

Dirinya menyayangkan hal tersebut, menurutnya bila Caleg perempuan yang selama ini dianggap pelengkap bergerak pasti membuahkan hasil yang maksimal.

Baca Juga  Jika Tata Kelola Adat Dikuatkan, Bali Disebut Tak Khawatir Hadapi Masa Depan

“Bila Caleg perempuan ini bergerak menggunakan kesempatannya tentu saja dukungan akan lebih maksimal daripada Caleg laki-laki,” tambahnya.

Menurutnya masalah yang kerap dihadapkan pada Caleg perempuan adalah, apakah di dalam praktiknya Caleg tersebut mendapatkan pendidikan politik sebelum didaftarkan oleh partai yang mengusung.

“Masalahnya apakah saat ditempatkan mereka (Caleg perempuan, red) mendapat pendidikan politik dari partainya, diberikan kesempatan yang sama seperti Caleg laki-laki jika turun ke lapangan apakah diajak ini harus menjadi perhatian masyarakat,” tegasnya.

Amanda menambahkan selama ini Caleg perempuan masih dipandang sebelah mata dalam praktiknya dengan fasilitas yang berbeda dengan Caleg laki-laki.

“Fasilitas yang diberikan partai yang kerap berbeda pada Caleg perempuan masih belum banyak orang yang melihat hal tersebut,” tandasnya.

Baca Juga  Perempuan Bali dan Pemilu 2024

Sementara itu pengamat politik Dr Luh Riniti Rahayu, M.Si menyebutkan, penerapan kuota 30 persen bagi perempuan untuk menjadi calon legislatif semestinya ditingkatkan menjadi 50 persen. Sehingga, dengan demikian kuota 30 persen dapat lebih mudah untuk dipenuhi.

“Di Bali baru mencapai 15 persen, sebentar lagi pemilu secara langsung yang ke-5. Saya yakin tidak juga akan mencapai kemenangan 30 persen bagi perempuan. Ya karena hanya calon saja yang diatur 30 persen. Kan tidak mungkin menang semuanya,” ungkapnya, Sabtu (26/8/23).

Lebih lanjut pihaknya menyebutkan, rendahnya minat perempuan untuk terjun ke dunia politik disebabkan oleh stereotip politik yang dianggap ‘kotor’, mahal dan tidak cocok untuk perempuan.

Baca Juga  Jelang Pesta Demokrasi, Sari Galung Harap Jumlah Perempuan di Parlemen Meningkat

“Karena partai politik tidak pernah berusaha sungguh-sungguh mengkaderkan perempuan. Dekat pemilu barulah berburu perempuan sebagai bakal calon. Hanya untuk memenuhi syarat mengikuti pemilu,” sentilnya.

Mantan Anggota KPU Bali ini berpendapat, keterlibatan perempuan dalam politik layak diperhitungkan. Sehingga, setiap partai politik diharapkan secara serius melakukan pembinaan terhadap kader-kader perempuan.

“Ibarat bila rumah tangga hanya diurus bapak saja atau ibu saja tentu kurang memenuhi semua harapan anak-anak. Seharusnya ayah dan ibu saling melengkapi untuk kebaikan anak laki-laki dan perempuan. Nah begitu pula di rumah rakyat akan sangat adil bila ada wakil rakyat laki-laki dan wakil rakyat perempuan,” tutup Riniti.

Reporter: Dewa Fathur