Dihadapan Nyoman Parta, Krama Adat Kelecung Paparkan Sejarah Penguasaan Lahan Sengketa
Tabanan – Perwakilan tim advokasi Desa Adat Kelecung, I Gusti Ngurah Putu Alit Putra bersama sejumlah krama (masyarakat) adat menceritakan secara langsung kepada Nyoman Parta, bagaimana sejarah penguasaan lahan sengketa oleh krama hingga terbitnya Sertifikat Hak Milik (SHM) di tahun 2017, bersamaan dengan 4 SHM milik penggugat.
Dihadapan anggota komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tersebut, Ngurah Alit menjelaskan bahwa krama adat mempercayai adanya hubungan sosio relegius magis, antara Pura Dalem Kelecung dengan tanah sengketa hingga saat ini.
Dahulu, lahan yang menjadi objek perkara tersebut merupakan lokasi parkir perahu nelayan kuno, sejak dulu pihak leluhur dari para penggugat dalam sengketa saat ini tidak pernah merasa keberatan, karena leluhur mereka sadar bahwa tanah mereka batasnya tidak sampai ke tanah sengketa tersebut, dimana terdapat pondok petani garam di sebelah baratnya.
“Tahun 1975 pernah dilakukan pembersihan di lokasi oleh para pemuda desa saat itu, memanfaatkan lahan menjadi lapangan sepak bola. Namun, para leluhur mereka (penggugat/ahli waris, red) saat itu tidak memberikan izin ternasuk penggarap untuk membersihkan lahan dibagian yang berumput bagus, sebelah utara batas buis. Sehingga, pemuda desa memutuskan untuk membersihkan lahan yang dijadikan objek sengketa saat ini,” papar Ngurah Alit, Selasa (31/10/23).
Ngurah Alit menerangkan, Desa Adat kelecung sebelum tahun 2004 pernah mengadakan bazaar di lokasi sengketa dan tahun 2003 pernah digelar upacara pekelem sasih keenem. Saat itu, belum ada jalan akses dari setra (kuburan) menuju lahan sengketa, dibangun sekitar tahun 2006 dipergunakan untuk menunjang kegiatan upacara keagamaan Pura Dalem Kelecung, tanpa perlu meminta izin dari pihak para penggugat dan hingga kini masih dipergunakan sebagai lahan parkir.
“Para Penggugat sendiri telah membatasi tanahnya dengan tanah sengketa, dibuktikan dengan batas alam berupa pagar dan batas buatan penggugat sendiri yaitu buis-buis sumur, dipasang diantara tanah penggugat dengan tanah milik Desa Adat Kelecung. Ini sebagai bentuk pengakuan dari penggugat sendiri bahwa tanah tersebut memang berbeda, ada batas dan penggugat sendiri tidak pernah sejak dulu mengakui tanah desa adat sebagai tanah miliknya,” imbuhnya.
Singkat cerita, bahwa desa adat dan para penggugat telah sama-sama mengajukan permohonan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) periode sama, tahun 2017, berdasarkan ketentuan UUPA Jo. PP No. 24/1997 Jo. Permen Agraria / Kepala BPN ATR No. 3/1997 Jo. Permen Agraria / Kepala BPN ATR No. 12/2017 Jo. Perbup Tabanan No. 50/2017, sehingga bukti pembayaran pajak lama (IPEDA 1 Maret 1977) milik para penggugat atau Surat Ketetapan IPEDA tahun 1977, kini disebut SPPT dengan data tambahan berupa Surat Pernyataan Sporadik telah terkonversi sempurna menjadi 4 (empat) buah sertipikat hak atas tanah yaitu :
a. SHM No. 02180 seluas 7760 M2.
b. SHM No. 02144 seluas 8120 M2.
c. SHM No. 02128 seluas 3300 M2.
d. SHM No. 02119 seluas 7500 M2.
Kesemuanya atas nama AA. Ketut Mawa Kesama, Ir. AA. Nyoman Supadma, MP., Drs. Anak Agung Oka Mars Sudama, M.Si., dan Anak Agung Bagus Ngurah Maradi Putra, SE.
“Walaupun mereka (penggugat, red) menyatakan diri tidak hadir sebagai penyanding dalam gugatan quo, akan tetapi dengan sendirinya hal tersebut terbantahkan oleh karena telah terbit sertipikat diatas tanah sengketa dan dengan melihat batas alam dan batas tanah berupa (buis, red) yang dibuat sendiri oleh para penggugat, diantara batas tanah miliknya dengan tanah sengketa. Maka tiada alasan apapun dapat dipergunakan kembali untuk menyatakan tanah sengketa sebagai miliknya,” tutupnya.
Sementara itu, diberitakan sebelumnya Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, I Nyoman Parta meyoroti kasus sengketa perdata nomor 190/Pdt.G/2023/PN Tab, Pura Dalem Desa Adat Kelecung selaku salah satu tergugat terhadap AA Mawa Kesama Cs (ahli waris Jro Marga) selaku pihak Penggugat, mengatakan Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Tabanan harus bisa membuktikan keabsahan Surat Hak Milik (SHM) milik Desa Adat Kelecung dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Tabanan.
“Yang saya baca di berita BPN termasuk salah satu tergugat dalam hal ini, biar BPN yang membuktikan nanti. Bahwa sertifikat yang mereka keluarkan ini, atas nama Desa Adat Kelecung adalah seritifikat yang sah, latar belakangnya seperti apa ini harus dibuktikan semua di persidangan selanjutnya,” ungkap Nyoman Parta kepada wacanabali.com, saat ditemui langsung di Pantai Kelecung, Jumat (28/10/23).
Selain itu, Nyoman Parta juga mengingatkan Majelis Hakim (MH) yang menangani kasus tersebut di PN Tabanan, bisa bersikap adil dan mempertimbangkan fakta-fakta yang dipaparkan para pihak tergugat agar tidak ada kesan negatif yang muncul, karena segala keputusan MH terkait kasus yang bergulir ini menyangkut orang banyak alias Krama Desa Adat Kelecung.
“Saya berharap dalam kasus ini majelis hakim bisa memberikan keputusan yang adil. Saya berharap, masyarakat adat (Kelecung, red) bisa mendapatkan haknya,” tutup pria yang akrab disapa Pak Man Parta.
Reporter: Krisna Putra
Tinggalkan Balasan