Banjir Kritik, Ini Pro-Kontra Nyamuk Wolbachia di Bali
Denpasar – Rencana penerapan metode Nyamuk Wolbachia di Bali tuai kritik sejumlah pihak. Kendati telah diklaim aman untuk diterapkan, nyatanya tak sedikit pihak mengaku khawatir akan dampak metode ini di masa depan.
Diimplementasikan di 14 Negara untuk Tangani Demam Berdarah Dengue (DBD)
Chief of Partnership, Strategy Program and Operation Save the Children Indonesia Erwin Simangunsong menerangkan, World Mosquito Program (WMP) telah mengimplementasikan metode wolbachia di 14 negara sejak tahun 2011, termasuk Indonesia.
Wolbachia disebut sebagai bakteri alami yang terdapat pada 50 persen serangga yang ada di bumi serta dinyatakan aman untuk manusia, hewan dan lingkungan.
“Wolbachia mampu menghambat replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti sehingga tidak menularkan penyakit dengue, zika dan chikungunya,” terangnya pada rilis yang diterima Wacanabali.com, Jumat (3/11/23).
Direkomendasikan Kemenkes RI
Kemenkes RI disebut telah mengevaluasi hasil penyebaran nyamuk di Yogyakarta dan menyatakan bahwa cukup bukti untuk memperluas manfaat Wolbachia WMP guna melindungi jutaan orang di Indonesia dari DBD.
Melalui Keputusan Menteri Kesehatan No 1341 Tahun 2022 metode Wolbachia di implementasikan di 5 kota di Indonesia yaitu Semarang, Jakarta Barat, Bandung, Kupang, dan Bontang.
JFT Epidemiolog Ahli Masya Ditjen P2P Kemenkes RI, dr. Asik Surya mengatakan, telah dilakukan uji coba yang matang sebelum menerapkan metode Wolbachia di Indonesia.
“Wolbachia mampu menghambat replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti sehingga tidak menularkan penyakit Dengue, Zika dan Chikungunya. Hasilnya (di Yogyakarta, red) metode Wolbachia ini terbukti berhasil menurunkan 77 persen kasus DBD dan 86 persen rawat inap di rumah sakit,” rincinya.
Diisukan Ditunggangi Kepentingan Elit Global
Tersiar kabar, penggunaan metode Wolbachia berkaitan erat dengan konspirasi elit global. Namun hal itu ditepis oleh Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM) dr. Riris Andono Ahmad, Ph.D.
“Sama seperti ketika pemerintah akan mengadopsi vaksin untuk penanggulangan pandemi COVID-19. Teori konspirasi elit global juga santer terdengar. Jadi teori konspirasi elit global bukan hal yang baru dan akan selalu ada pihak-pihak tertentu yang mencoba menggagalkan program pemerintah dengan pendekatan teori konspirasi,” terang salah satu tim peneliti metode Wolbachia di Indonesia ini.
Dirinya menyatakan metode ini efektif untuk menanggulangi DBD serta risiko keamanan telah dinilai oleh 20 Ilmuwan Independen dari berbagai bidang ilmu di Indonesia.
“Penilaian risiko yang dilakukan hingga 6 bulan tersebut telah menyimpulkan bahwa dampak buruk dari teknologi ini dapat diabaikan. Teknologi ini juga telah mendapatkan rekomendasi dari panel ahli WHO (World Health Organization) yang bertugas untuk menilai berbagai teknologi pengendalian vektor yang baru,” tandasnya.
Tuai Penolakan
Wakil Ketua Umum (Waketum) Bidang Humas Puskor Hindunesia Dewa Putu Sudarsana menolak rencana penerapan nyamuk wolbachia di Bali. Ia mengaku khawatir, metode yang diklaim untuk memerangi virus dengue ini justru berpotensi timbulkan masalah baru bagi ekosistem Bali di masa depan.
“Posisi Puskor saat ini menolak apa yang dilakukan oleh pemerintah dan Yayasan yang terlibat dalam program ini karena memang tidak ada sosialisasi kepada masyarakat luas,” ujarnya, Senin (6/11/23).
Menurutnya, hal tersebut harus dipertimbangkan sebab menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat Bali kedepan. “Apakah mau kita serahkan hidup kita kepada nyamuk yang tidak bisa kita kontrol?,” sambungnya.
Kendati demikian, pihaknya mengaku akan menerima dan mendukung program tersebut apabila telah dilakukan riset secara mendalam untuk mengantisipasi dampak negatif jangka panjang.
“Ya, kalau memang bagus pasti kita dukung. Kita juga bisa menyampaikan informasi terkait ini kepada masyarakat,” sebutnya.
Senada dengan hal itu, Pengamat Sosial Tofan Triwikrama harap diadakan pengkajian ulang untuk penerapan metode Wolbachia di Bali. Diketahui sebelumnya, program ini telah direncanakan untuk dua wilayah di Bali yakni Kota Denpasar dan Kabupaten Buleleng.
“Hal-hal seperti ini kan harus dipertimbangkan dulu karena berdampak ke lingkungan, apalagi Bali punya local wisdom yang luar biasa. Takutnya ini akan berpengaruh ke ekosistem,” ungkapnya, Senin (6/11/23).
Kendati metode nyamuk ber-Wolbachia diklaim dapat tekan angka DBD. Kata Tofan, tetap harus dilakukan riset mendalam untuk mengetahui dampak jangka panjang dari keberadaan metode tersebut.
“Karena ini kan nyamuk melalui udara dan tidak terkontrol gitu,” sambung Fasilitator Komunitas Gladiator Bangsa ini.
Dengan demikian, pihaknya menilai perlu ada penundaan program ini di Bali sebelum dilakukan penelitian yang menyeluruh.
“Jadi sebaiknya sih ditunda dulu, kita lihat perkembangan daerah lain bagaimana hingga 3 sampai 5 tahun ke depan. Kalau memang ternyata positif dan memang risiko terhadap lingkungan dan lainnya bisa diatasi,” pungkasnya.
Siti Fadilah Angkat Bicara
Mantan Menteri Kesehatan RI periode 2004-2009, Sita Fadilah dalam tayangan akun YouTubenya pun turut berkomentar. Pihaknya bahkan mempertanyakan apakah metode Wolbachia benar-benar dibutuhkan oleh Indonesia saat ini atau justru ada agenda lain di baliknya.
“Program Kemenkes saya acungi jempol tanpa perlu menggunakan nyamuk. Ini tanda tanya besar, kenapa kita harus mengundang nyamuk?” tandasnya.
Ditunda Pemprov Bali
Pasca tuai ragam komentar, Pj Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya menyampaikan akan melakukan penundaan terhadap pengimplementasian program besutan WMP ini. Semula rencana pelepasan 200 juta telur nyamuk Wolbachia di Denpasar dijadwalkan pada 13 November 2023.
Namun, dilansir Nusabali.com, Penundaan ini dilakukan guna mendapatkan kajian lebih lanjut dari pihak Kemenkes RI. “Perlu sosialisasi. Ada penolakan dari masyarakat, kita tidak ingin masyarakat terbelah. Ada pro dan kontra lebih bagus kita tunda dulu,” pungkasnya.
Reporter: Komang Ary
Editor: Ady Irawan
Tinggalkan Balasan