Paiketan Pemangku Pura Besakih Sebut Program Nyamuk Ber-Wolbachia Menentang Kearifan Lokal
Karangasem – Dianggap menentang kearifan lokal yang ada di Bali, Ketua Paiketan (Paguyuban) Pemangku di Pura Besakih dengan tegas menolak program penyebaran 200 juta telur nyamuk ber-Wolbachia dari World Mosquito Program dan Yayasan Save the Children.
Jro Mangku Gusti Jana menegaskan pernyataannya saat menerima Margaret Elizabeth dari Bali Solidarity (Solidaritas Bali) didampingi Humas Pusat Koordinasi Hindu Indonesia (Puskor Hindunesia) I Dewa Putu Sudarsana yang datang dengan kerendahan hati meminta pendapat dan nasihat dari pemangku di Pura Besakih, tentang pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di Bali, Rabu, (15/11/2023).
“Terkait dengan keberadaan Wolbachia yang direncanakan, program ini tidak sesuai dengan kearifan lokal,” tandas Jro Mangku Gusti Jana.
Ia menambahkan, Bali punya kearifan lokal dan beberapa hal yang tidak perlu dikembangkan karena secara naluri dan agama tidak pantas.
“Karena dalam kehidupan kita, khususnya agama Hindu di Bali kita telah mengenal kearifan lokal, dan melakukan upacara atau ritual yang biasa dikenal dengan ‘Nangluk Merana,’ atau konsep ‘Sarva Prani’, dalam bahasa Sansekerta. Biarkan kehidupan berkembang sesuai dengan habitatnya sendiri,” ulas Jero Mangku Gusti Jana.
Ia menuturkan ketika alam hidup sesuai dengan habitatnya, mereka tidak mengganggu manusia.
“Yang perlu umat manusia lakukan untuk mencegah penyakit adalah dengan cara hidup yang selaras dengan ilmu agama. Itu semua menurutnya tertulis dalam kitab suci Weda,” pungkas Jro Mangku Gusti Jana.
Humas Puskor Hindunesia I Dewa Putu Sudarsana menambahkan peran jro mangku selaku pemuka agama dalam masyarakat Bali amatlah penting.
“Bagaimana jika mereka tidak setuju dengan apa yang sedang terjadi, kita tidak dapat melanjutkan program WMP, dan program tersebut harus dihentikan sepenuhnya,” cetusnya.
Ia dengan tegas berharap penghentian program penyebaran 200 juta telur nyamuk ber-Wolbachia ini tidak hanya di Bali, tapi seluruh Indonesia.
“Ancaman ini terlalu parah dan ekosistem kita terlalu rapuh untuk membiarkan hal ini terjadi dimanapun di Indonesia,” tutup Dewa Sudarsana.
Editor: Ngurah Dibia

Tinggalkan Balasan