Denpasar – Miris dan menyedihkan. Mungkin demikian kata yang tepat menggambarkan perjalanan Prof I Nyoman Gde Antara dalam perkara dugaan korupsi dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Universitas Udayana (Unud) yang telah menghancurkan karirnya. Disinyalir tidak ada satupun unsur dalam perkara itu yang memenuhi pasal Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dijeratkan kepadanya.

Persidangan sudah berjalan selama lima bulan, tidak ada satupun saksi baik dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun saksi a de charge (meringankan) mengungkap dimana unsur korupsi yang dilakukan sang profesor.

Perasaan masyarakat seolah teriris melihat seorang profesor dan salah satu putra terbaik Bali itu harus diborgol, digulingkan dan dihancurkan karirnya yang dibangun bertahun-tahun dan tentu yang paling menyesakan dada dijauhkan dari keluarganya selama berbulan-bulan tanpa bukti yang jelas.

Kuasa hukum Prof Antara Hotman Paris Hutapea bahkan sampai menyebut kasus ini merupakan dakwaan teraneh selama karirnya menjadi pengacara.

“Kasus ini aneh bahkan teraneh selama saya menjadi pengacara, dimana Prof Antara dituduhkan melakukan korupsi, tidak ada satu perak pun uang SPI masuk ke kantong pribadi maupun keluarga klien kami, yang ada negara diuntungkan bahkan fasilitas di Udayana (Unud, red) berkembang dengan pesat,” ujar Hotman beberapa waktu lalu.

Baca Juga  Saksi Prof Wiksuana Sebut Pungutan SPI Unud Sejak SK Rektor Raka Sudewi

Kasus SPI ini seolah mempertontonkan ketidakmampuan negara dalam mendanai biaya pendidikan dimana selama ini negara hanya mampu mendanai 20 persen pengembangan PTN. Sementara disebutkan, pendanaan itu dipakai hanya untuk operasional, hanya 2,6 persen dana murni dipakai pendidikan. 

Atas keadaan itu muncul Surat Keputusan (SK) Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) sebagai perwakilan negara memberikan mandat untuk bisa melakukan pemungutan SPI di seluruh PTN Indonesia. Tidak disangka, malah berbuntut terseretnya Rektor Unud menjadi terdakwa dalam perkara dugaan korupsi SPI.

Selanjutnya, keanehan kasus ini kian tercium karena JPU sempat menganggap bahwa corporate social responsibility (CSR) yang di dapat dari deposito dana SPI sebagai gratifikasi. Hal tersebut langsung dibantah oleh pihak bank yang dihadirkan sebagai saksi dalam perkara ini. 

Saat dihadirkan di persidangan Ida Bagus Sonny Suryawijaya selaku pejabat di Bank BNI menyebut bahwa pemberian CSR berupa mobil dan pemberian sponsor merupakan hal lumrah berhubungan bisnis.

Baca Juga  Fakta Sidang Kasus SPI, Saksi Ungkap Audit Unud Selalu Aman

“Dasarnya pemberian tersebut merupakan upaya untuk suport dalam bentuk penghargaan karena menjadi nasabah BNI, perhitungan bisnis menjadi dasarnya perjanjian kerja sama serta telah mempercayai BNI sebagai bank utamanya semuanya masuk perhitungan. Selain Unud memang ada perguruan tinggi lain yang mendapat apresiasi serupa tapi kembali lagi dari hasil perhitungan, jadi nilainya bisa sama dan bisa juga berbeda,” terangnya.

Titik balik dari kasus ini adalah saat ahli hukum pidana dan staf khusus Kapolri, Dr. Chairul Huda SH MH yang dihadirkan dalam persidangan ini, Kamis 11 Januari 2024 menerangkan bahwa kasus yang menjerat Prof Antara tidak layak naik ke persidangan bahkan dilakukan penyidikan saja tidak pantas, karena pemungutan SPI sama sekali tidak berhubungan dengan Tipikor.

“Semestinya perkara ini tidak layak untuk masuk ke persidangan, bahkan untuk naik penyelidikan ke penyidikan saja sudah tidak layak. Dari konstruksi peristiwanya saja sudah tidak cocok, misalkan pasal 2 dan 3 (UU Tipikor, red) kerugian uang negara, tapi dana ini (SPI, red) tidak masuk ke keuangan negara. Perbuatan terdakwa tidak ada mengarah kesana (pasal 2 dan 3 Tipikor, red),”  ujarnya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar usai memberi keterangan sebagai saksi ahli, Kamis (11/1/24). 

Baca Juga  Prof Antara Tantang Sumpah Cor dalam Pembuktian Kasus SPI Unud

Sementara itu pengamat ekosistem dan kebijakan sosial, Agung  Pram jika melihat hal ini sebagai kasus korupsi, menurut nya pengertian korupsi memiliki banyak pemahaman dalam kaidah bahasa dan referensi. Indonesia sendiri melalui UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengelompokkan korupsi ke dalam 7 (tujuh) jenis yang utama.

“Ketujuh jenis tersebut adalah kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Jadi bila mengacu pada eksepsi yang saya baca di media, nampaknya sangat perlu untuk meninjau ulang permasalahan ini secara netral,” katanya.

Berkaca dengan kasus ini memiliki efek domino jika sampai Prof Antara divonis bersalah maka ada sekitar 40 Rektor dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) akan dikasuskan dan bisa saja diborgol karena memungut SPI, sedangkan negara tidak mampu membiayai PTN secara penuh.

Reporter: Dewa Fathur