Dilema Kasus LPD Digolongkan Tipikor, Ahli Beberkan Alasannya
Denpasar – Pakar Hukum Universitas Udayana Made Gde Subha Karma Resen menjelaskan, terkait dengan persoalan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) serta oknum-oknum LPD yang dijatuhi hukuman tindak pidana korupsi menjadi situasi yang paradoks di tengah masyarakat.
“Artinya ada yang berpandangan bahwa seharusnya tidak dijatuhi hukuman korupsi, ada juga yang berpandangan masuk ke ranah korupsi,” sebutnya kepada Wacanabali.com, Jumat (9/2/24).
Hal ini menjadi perdebatan, sebab pengertian hibah berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memposisikan hibah sebagai bagian dari pengeluaran daerah. Sehingga, hal tersebut, menurut Subha Karma menjadi salah satu alasan mengapa unsur korupsi dijadikan sebagai dasar penuntutan.
“Padahal harapannya entah itu dalam konteks politik, hibah diberikan cuma-cuma,” terangnya.
Selain itu, maraknya kasus korupsi yang muncul ke permukaan disebabkan karena aliran dana LPD tidak hanya berputar di desa adat. Melainkan, terdapat pihak-pihak di luar desa adat yang dalam hal ini merasa dirugikan dan kemudian mengambil langkah hukum.
Dengan demikian, segala hal menyangkut adat termasuk persoalan LPD, semula mengedepankan musyawarah mufakat. Namun, saat ini penyelesaian polemik yang dihadapi mulai menggunakan perangkat hukum nasional.
“Hal ini juga tidak bisa dihindarkan karena skala LPD sudah keluar dari batas Desa Adat, atau secara praktis seperti usaha Bank pada umumnya. Padahal, LPD tidak sama dengan bank. LPD itu memberdayakan, melayani masyarakat desa adat,” pungkasnya.
Reporter: Komang Ari
Tinggalkan Balasan