Denpasar – Mencuatnya perkara korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Universitas Udayana (UNUD) yang menyeret Prof. Nyoman Gde Antara mengundang perhatian publik.

Terlebih belakangan berkembang, unsur kerugian negara disebut-sebut tidak ditemukan malah dalam hal ini dikabarkan negara diuntungkan.

Menelisik fakta persidangan hingga agenda duplik dan mengacu pada tuntutan jaksa, unsur pasal 2 dan 3 tidak ditemukan alias jauh panggang dari api dengan dakwaan awal menyebutkan kerugian negara mencapai ratusan miliaran rupiah.

Tuntutan jaksa berubah, lebih menekankan pada pasal 12e undang undang tindak pidana korupsi (UU Tipikor) yang korelasinya adalah pungli dengan tuntutan 6 tahun penjara.

Agus Saputra sebagai kuasa hukum Prof Antara menjelaskan, ada tiga patokan sebagai yurisprudensi yaitu Putusan Mahkamah Agung No 42 K/Kr/1965 dalam korupsi pada suatu lembaga.

Baca Juga  Prof Antara Dituntut 6 Tahun Penjara dan Denda Rp300 Juta

“Pertama, apakah ada faktor negara dirugikan? Tidak ada kerugian negara. Dua, apakah kepentingan umum tetap dapat dilayani?, dalam hal ini pelayanan (UNUD, red) tersebut berjalan dengan normal? Sampai sekarang UNUD masih berjalan dengan normal. Tidak ada gejolak, tidak ada mahasiswa yang dikeluarkan, bahkan administrasi UNUD berjalan lancar. Ketiga apakah Terdakwa memperoleh keuntungan, dalam hal ini tidak satu sen pun uang mengalir ke kantong atau rekening terdakwa,” ungkap pengacara Agus Saputra kepada wartawan, Selasa (13/02/2024).

Lebih lanjut disinggung terkait pasal 12e tidak mesti harus ada unsur kerugian negara, ia menyebut, dalam nomenklatur korupsi ketika berbicara penyalahgunaan wewenang harus ada unsur memaksa. Menurut ahli psikologis sosial Dr. Andik Matulessi, Msi, bahwa untuk dapat dikatakan memaksa harus ada reaksi kuasa antara yang memaksa dan yang dipaksa.

Baca Juga  Hibah Mobil Mewah Unud Jadi Perdebatan Ternyata Sah!

“Betul 12e memang tidak harus ada kerugian negara, tetapi itu masuk dalam nomenklatur korupsi, dan berbicara korupsi ada penyalahgunaan wewenang ada unsur memaksa. Apakah terdakwa memaksa, kenal saja tidak dengan calon mahasiswa,” bebernya.

Agus menyinggung bagaimana dalil jaksa mengatakan bahwa calon mahasiswa dipaksa untuk melakukan pembayaran SPI. Tentunya harus jelas juga siapa menjadi korban.

“ini kan masih calon mahasiswa jadi masih bisa masuk ke kampus lain entah itu negeri maupun swasta jadi unsur paksaan itu tidak ada. Makanya tadi kita tanyakan siapa korbannya uangnya berapa seperti yang disampaikan dalam replik JPU,” singgung Agus.

Untuk diketahui sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Nengah Astawa, S.H, M.H menyebut ditolaknya pledoi Prof Antara dan Penasehat hukumnya lantaran tidak konsistennya dalam dalil hukum yang digunakan.

Baca Juga  Kasus SPI Unud, Hotman Paris Tepis Kliennya Dikatakan Korupsi

“Pihak terdakwa tidak konsisten dalam dalil hukumnya. Contoh saat auditor dihadirkan. Pihak mereka (terdakwa, red) menolak sebagian besar keterangan ahli tetapi menerima sebagian yang tidak ada sepeserpun kerugian negara yang masuk pada terdakwa,” sebutnya.

Selanjutnya Astawa menyebut bahwa pihak Prof Antara melakukan perbuatan melawan hukum di atas perbuatan melawan hukum.

“Contoh memungut SPI tanpa dasar, kemudian dana tersebut di endapkan itu perbuatan melawan hukum di atas perbuatan melawan hukum,” pungkas Astawa.