Denpasar – Bendesa Agung Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, Dewa Gede Ngurah Swastha (Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet) enggan menanggapi pro-kontra status bandesa adat apakah jabatan publik pemerintah atau bukan.

Pro-kontra itu muncul pasca-penangkapan Bandesa Adat Berawa, Badung oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali atas dugaan pemerasan investor.

“Bandesa adat tidak perlu ikut campur soal kewenangan itu. Itu terserah penegak hukum kan nanti sampai pengadilan juga itu yang menilai,” katanya kepada wacanabali.com saat disinggung terkait pro-kontra tersebut, Rabu (5/5/24).

Kejelasan status bandesa adat apakah sebagai jabatan publik pemerintah atau bukan juga memantik pertanyaan kewenangan jaksa menyidik kasus ini.

Dan, sangkaan pasal Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001, perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dalam kasus ini juga menuai perdebatan.

Sebagai pimpinan tertinggi lembaga adat Bali berkapasitas menjelaskan status bendesa, namun Dewa Swastha mengaku pihaknya tidak punya kewenangan menilai.

Baca Juga  MDA Bali: Jangan “Jual” Adat untuk Dagangan Politik!

“Desa Adat tidak punya kewenangan atau yurisdiksi untuk menilai itu. Entah siapa yang menindak mau itu kejaksaan atau kepolisian itu bukan kewenangan Majelis Desa Adat untuk menilai,” ungkapnya.

“Yang penting adalah kalau memang benar-benar tindak pidana ya harus ditindak,” tandas Dewa Swastha.

Sebelumnya, praktisi hukum Gede Pasek Suardika dalam unggahan media sosialnya mengatakan bandesa adat bukanlah jabatan publik pemerintahan. Sehingga menurutnya jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan pidana umum.

“Benang merahnya di mana ya? Padahal selama ini bendesa adat bukan jabatan publik pemerintahan. Jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan pidana umum tetapi hanya penuntutan saja. Soal terbukti atau tidak pemerasan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 12 E UU Tipikor atau pidana umum, masih menjadi hal menarik secara kajian hukum,” katanya.

Selain itu, pengacara yang akrab disapa GPS ini menyebut bahwa kasus Bandesa Adat Berawa akan menentukan kemana arah desa adat. Apakah bagian dari struktur pemerintahan atau sebaliknya terpisah.

Baca Juga  MDA Bali: Jangan “Jual” Adat untuk Dagangan Politik!

Namun, menurutnya kedudukan desa adat sangat kuat dan tidak mudah diintervensi oleh hukum positif.

Sementara itu, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Bali Putu Agus Eka Sabana menerangkan, Kejati Bali menangkap Bandesa Adat Berawa dalam operasi tangkap tangan (OTT) berdasarkan perintah UU Tipikor.

Sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 2 (e) UU Tipikor disebutkan bahwa pegawai negeri adalah setiap orang yang menerima upah atau gaji dari keuangan negara atau daerah.

“Jadi konteksnya bandesa adat ini mendapatkan gaji dari Pemerintah Provinsi Bali dan mendapatkan tunjangan dari Pemerintah Kabupaten Badung. Jadi sesuai dengan pengertian pegawai negeri dalam UU Tindak Pidana Korupsi tersebut, setiap orang yang mendapatkan upah atau gaji atau insentif dari keuangan negara atau keuangan daerah terkategori sebagai pegawai negeri,” terangnya, Senin (13/5/24).

Baca Juga  MDA Bali: Jangan “Jual” Adat untuk Dagangan Politik!

Selain itu, Eka Sabana juga menyinggung Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menegaskan bahwa desa adat bagian dari Penyelenggara Negara.

“Jadi kalau UU Desa, bendesa adat itu dikategorikan sebagai penyelenggara negara otomatis kan memenuhi unsur. Kemudian di UU Tipikor memenuhi unsur bahwa bandesa adat juga terkategori sebagai pegawai negeri. Sehingga kejaksaan tinggi dalam hal ini memiliki kewenangan menyidik perkara ini,” jelasnya.

Kendati demikian, Kasipenkum Kejati Bali ini menyebut ketentuan khusus yakni UU Tipikor yang akan diberlakukan dibanding ketentuan umum yaitu UU Desa, sebagaimana disebutkan dalam asas “lex specialis derogat legi generali”.

“Tapi apabila ada ketentuan khusus yang mengatur daripada adanya ketentuan umum maka yang akan diberlakukan itu dasarnya ketentuan khusus. Sebagaimana asas hukum itu ‘lex specialis derogat legi generalis’,” tegasnya.

Reporter: Yulius N