Wayang dalam Cengkeraman Dalang Kapitalisme di Pulau Serangan
Denpasar – Pulau Serangan, sebuah pulau kecil dengan kekayaan budaya dan spiritual yang tak ternilai, kini menghadapi ancaman eksistensial. Bukan hanya alam dan budaya yang direnggut, tetapi juga kesadaran warganya yang perlahan terkikis oleh pembodohan sistemik.
“Masyarakat Serangan seperti wayang yang digerakkan oleh dalang,” tegas Siti Sapurah, S.H, akrab disapa Ipung, seorang warga lokal yang juga pengacara dan aktivis perempuan serta anak, yang tanpa tedeng aling-aling mengungkap realitas pahit ini di Denpasar, Kamis (26/12/2024)
Menurut Ipung, pembodohan ini berjalan secara halus tapi pasti. Warga disodorkan narasi pembangunan yang seolah-olah membawa kemajuan, namun pada kenyataannya, mereka hanya menjadi penonton dari proses eksploitasi besar-besaran terhadap tanah dan budaya mereka sendiri.
“Mereka tidak sadar bahwa tanah leluhur mereka perlahan dijadikan alat untuk memperkaya segelintir pihak, sementara mereka sendiri kehilangan akses terhadap masa depan,” kata Ipung dengan nada tajam.
Alih-alih menjadi aktor utama dalam pembangunan, masyarakat Serangan justru dimanfaatkan sebagai pelengkap yang tak punya kuasa. Mereka diberi janji-janji manis, seperti peningkatan kesejahteraan dan infrastruktur, namun yang terjadi justru hilangnya hak-hak mereka atas tanah adat, sumber daya, dan lingkungan yang menjadi identitas mereka selama ini.
Salah satu dampak nyata dari eksploitasi ini adalah ancaman terhadap kesucian delapan pura di Pulau Serangan, termasuk Pura Sakenan, sebuah pura yang menjadi simbol spiritual masyarakat Bali. Proyek-proyek pembangunan masif BTID (Bali Turtle Island Development), telah menciptakan gangguan besar terhadap keseimbangan ekologis dan spiritual di Pulau Serangan.
“Pura-pura ini adalah jiwa Pulau Serangan. Ketika kesuciannya dihancurkan, kita tidak hanya kehilangan tempat ibadah, tetapi juga menghancurkan identitas spiritual masyarakat Serangan,” tegas Ipung.
Ipung menambahkan bahwa ancaman terhadap kesucian pura adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang serius.
“Kebebasan menjalankan keyakinan dan menjaga kesucian tanah leluhur adalah hak mendasar yang seharusnya dihormati. Ketika itu direnggut, berarti ada pelanggaran HAM yang tidak bisa dibiarkan,” jelasnya.
Salah satu aspek paling menyedihkan dari situasi ini adalah bagaimana warga Serangan, secara tidak sadar, menjadi alat bagi kepentingan pihak-pihak tertentu. Dalam pembodohan sistemik ini, mereka diberi ilusi kontrol, padahal kenyataannya keputusan-keputusan besar yang mempengaruhi kehidupan mereka sepenuhnya diatur oleh dalang pengembang besar, investor, dan kekuatan politik di belakang layar.
“Warga tidak menyadari bahwa mereka hanya wayang yang digerakkan oleh dalang nya. Mereka diberi janji, tapi justru kehilangan hak atas tanah mereka sendiri. Sumber daya mereka diambil, tradisi mereka dihancurkan, dan mereka tetap diam karena merasa ini adalah harga kemajuan,” ujar Ipung dengan penuh keprihatinan.
Ipung juga menyoroti dampak pembodohan ini terhadap perempuan dan anak-anak di Pulau Serangan. Ketika tanah adat diambil dan lingkungan dirusak, perempuan, sebagai penjaga tradisi, kehilangan ruang untuk melestarikan budaya. Anak-anak tumbuh di lingkungan yang tercerabut dari akarnya, kehilangan kesempatan untuk memahami dan mewarisi nilai-nilai leluhur.
“Ini bukan hanya soal pembangunan fisik. Ini adalah proses penghancuran generasi. Jika dibiarkan, Pulau Serangan akan kehilangan identitasnya, dan generasi mendatang hanya akan tahu tentang warisan leluhur mereka dari cerita, bukan dari pengalaman langsung,” ungkapnya.
Ipung menyerukan kepada masyarakat Serangan untuk membuka mata terhadap kenyataan yang terjadi.
“Masyarakat harus sadar bahwa mereka memiliki hak untuk menolak eksploitasi ini. Kesadaran kolektif adalah kunci untuk melawan pembodohan ini dan merebut kembali kendali atas masa depan mereka,” katanya dengan penuh semangat.
Pulau Serangan bukan hanya sekadar tanah, ia adalah simbol perjuangan antara kapitalisme dan tradisi, antara kepentingan ekonomi dan spiritual. Seperti yang dikatakan Ipung,
“Jika masyarakat Serangan terus diam, mereka akan kehilangan segalanya. Tapi jika mereka bangkit dan bersatu, mereka bisa merebut kembali apa yang seharusnya menjadi milik mereka.”
Pulau Serangan, yang dahulu menjadi lambang harmoni antara manusia dan alam, kini menjadi medan pertempuran yang akan menentukan masa depannya. Perjuangan ini bukan hanya tentang mempertahankan tanah, tetapi juga mempertahankan identitas, spiritualitas, dan martabat manusia.

Tinggalkan Balasan