Kejari Jembrana RJ-kan Kasus KDRT, Tersangka dan Korban Berdamai
Jembrana – Kejaksaan Negeri (Kejari) Jembrana hentikan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) melalui Restorative Justice (RJ) atau Keadilan Restoratif, Jumat (24/01/25). Dalam kasus tersebut baik tersangka maupun korban yang merupakan pasangan suami-istri ini sepakat berdamai.
Dalam perkara KDRT tersebut, tersangka atas nama I Made D dan korban Ni Luh Gede S yang merupakan warga Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana. Made D dilaporkan usai diduga melakukan kekerasan dalam rumah tangga yang dipicu oleh hal sepele.
Percekcokan tersebut terjadi karena saksi Ni Luh Gede S salah paham terkait garam yang berserak di lantai rumah yang mana ditakutkan garam tersebut bertujuan untuk guna-guna. Kemudian tersangka menjelaskan kepada saksi korban Ni Luh Gede S bahwa garam yang berserak tersebut ditaruh oleh mertuanya yaitu saksi IWB karena cucunya sedang sakit dan susah tidur, yang mana menurut kepercayaan saksi IWB menebar garam dapat digunakan untuk menolak bala.
Tersangka sudah menjelaskan kepada saksi korban namun masih tidak terima dengan penjelasan tersangka, lalu memaki tersangka sehingga membuat tersangka marah dan timbul percekcokan tersebut.
“Diawali dengan perselisihan karena adanya garam (yang berserakan) di sekitar rumah, hal tersebut memicu pertengkaran. Karena emosi tersangka beberapa kali melempar korban dengan belahan pot, genteng, dan sandal. Akibatnya korban mengalami sejunlah luka, mulai dari luka pada pipi kiri, terdapat luka lecet pada mata kiri serta luka memar pada lengan atas kiri dan kanan,” jelas I Wayan Adi Pranata, Plh Kepala Kejaksaan Negeri Jembrana kepada awak media.
Lanjut Adi Pranata, dalam kasus tersebut, Made D dinyatakan melanggar Pasal 44 Ayat (1) Jo Pasal 5 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Namun di tengah perjalanan kasus tersebut kami upayakan selesaikan melalui upaya RJ, di mana sudah melalui berbagai proses sebagai persyaratan Penghentian Penuntutan berdasarkan Surat Ketetapan Penyelesaian Perkara (SKP2).
Berbagai persyaratan RJ telah terpenuhi di antaranya tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana. Kemudian, antara kedua belah pihak sepakat melakukan perdamaian tanpa syarat. di mana tersangka berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya dan korban tidak ingin perkaranya dilanjutkan ke persidangan.
“Syarat utama tentu tersangka dan korban mau melakukan perdamaian, serta memenuhi persyaratan Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020,” pungkas Adi Pranata.
Reporter: Dika
Editor: Ngurah Dibia
Tinggalkan Balasan