Denpasar – Diduga Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bali mengambil alih tanah milik warga Jimbaran seluas 280 hektar untuk kepentingan investor. Tanah yang bersertifikat hak guna bangun (HGB) itu, sudah dikuasai selama 30 tahun oleh investor.

Hal ini terungkap saat warga Adat Jimbaran mendatangi DPRD Provinsi menyampaikan aspirasi terkait duduk perkara tanah tesebut, Senin (3/2/2025). Warga Adat Jimbaran itu tergabung dalam Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet). Mereka terdiri dari lima kelompok Desa Adat di Jimbaran sebanyak 130 orang warga.

I Wayan Bulat, selaku Perwakilan Kelompok Penerima Mandat mengungkapkan bahwa proses perpanjangan Sertifikat HGB atas tanah seluas 280 hektar pada tahun 2010 di Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, diduga dilakukan secara melawan hukum. Pasalnya, ketika diperpanjang sebagian besar lahan tersebut dalam kondisi terlantar.

Baca Juga  DPRD Bali Sahkan Revisi Perda PWA, Koster Optimistis Retribusi PWA Melenting

“Adanya penyalahgunaan Surat Keputusan Presiden, Menteri, Gubernur Bali dan pejabat lainnya, bahwa lahan tersebut akan digunakan untuk sarana-prasarana kegiatan multilateral yang diselenggarakan pada tahun 2013. Namun, hingga saat ini di lokasi tidak ada pembangunan sebagaimana dimaksud,” ungkapnya.

Lebih lanjut, kata Wayan Bulat, patut diduga perpanjangan HGB dipaksakan, karena sebelumnya ada Surat Penetapan Indikasi Tanah Terlantar oleh Badan Pertanahan Nasional. Sehingga sepatutnya tanah tersebut dikembalikan kepada pemilik hak-hak lama, bukan justru diperpanjang Sertfikag HGB.

“Dapat kami sampaikan juga, bahwa kami sedang menempuh upaya hukum Perdata dan Pidana dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat,” kata Wayan Bulat.

Selain itu, salah satu perwakilan warga Adat Jimbaran, I Nyoman Tekat mengatakan tahun 1994-1995 tanah tersebut digusur secara massal dan menyerahkan tanahnya kepada investor yang diberikan HGB pada saat itu.

Baca Juga  Belum Optimal, Gubernur Koster Usulkan Revisi Perda Pungutan Wisatawan Asing

Ia menceritakan sebelum Indonesia merdeka, masyarakat adat Jimbaran telah menempati tanah tersebut. Sebab, tanah tersebut merupakan warisan Kerajaan Mengwi. Masyarakat di sana memproduksi palawija yang secara rutin disetorkan ke Desa Adat.

“Di sana kami sudah ada, selanjutnya secara turun menurun sistem pembagian hasil di sana adalah bagi hasil. Kemudian kami menyetorkan kepada desa adat karena tanah tersebut dikuasai Desa Adat,” jelasnya.

Setelah Indonesia merdeka, lanjut Tekat, tanah tersebut diambil alih oleh negara. Sehingga, tanah yang dulunya dikuasai oleh kerajaan diserahkan ke masyarakat.
Namun, hingga saat ini tanah tersebut bersertifikat HGB yang diserahkan kepada investor. Hal itu yang membuat masyarakat tidak sepakat.

Baca Juga  Fraksi Demokrat-Nasdem Soroti Fenomena Kawin Kontrak di Bali

Reporter: Yulius N