Denpasar – Polemik pelepasan kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai di Pulau Serangan kembali mencuat setelah I Ketut Subandi memaparkan data resmi terkait proses tersebut.

Ia menegaskan bahwa pelepasan lahan ini telah melalui berbagai tahapan sejak era 1990-an, termasuk mekanisme tukar menukar lahan dengan PT Bali Turtle Island Development (BTID).

“Kawasan hutan ini awalnya dikenal sebagai Prapat Benoa (RTK 10) sebelum dikukuhkan sebagai kawasan hutan tetap pada tahun 1988 dengan luas 1.392 hektare,” ungkap Subandi kepada wartawan, Sabtu (1/2/2025)

Namun, fakta bahwa 62 hektare lahan eks Tahura kini telah disertifikatkan atas nama PT BTID menimbulkan tanda tanya besar. Proses tukar guling yang seharusnya menjamin keseimbangan ekologi dan kepentingan negara justru menimbulkan spekulasi mengenai legalitas dan transparansi pelepasan lahan ini.

Baca Juga  Walhi Bali Tuding PT BTID Rugikan Lingkungan dan Warga Lokal

Pada tahun 1996, PT BTID mengajukan permohonan pemanfaatan sebagian kawasan hutan di Pulau Serangan. Permohonan ini kemudian diproses melalui mekanisme tukar menukar lahan dengan persyaratan PT BTID menyediakan lahan pengganti di Kabupaten Jembrana dan Karangasem.

Menteri Kehutanan akhirnya menerbitkan Surat Keputusan Nomor 439/Menhut-II/2008 yang menunjuk lahan pengganti seluas 84,2 hektare di dua kabupaten tersebut.

Namun, dalam perjalanannya, pencabutan izin prinsip oleh Menteri Kehutanan pada tahun 2003 memicu sengketa hukum antara PT BTID dan pemerintah. PT BTID menggugat keputusan tersebut, dan dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta hingga tingkat kasasi, gugatan PT BTID dikabulkan.

Sebagai akibat dari keputusan tersebut, sekitar 62,14 hektare lahan eks Tahura Ngurah Rai di Pulau Serangan resmi disertifikatkan kepada PT BTID.

Baca Juga  Nyoman Parta Sebut Klarifikasi BTID Soal Pantai Serangan Jadi Kura Kura Bali Tak Masuk Akal!

“Kami hanya menyampaikan data sesuai dengan dokumen resmi,” tegas Subandi, mencoba meredam spekulasi terkait kebijakan yang telah berlangsung lebih dari dua dekade ini.

Namun, pertanyaan krusial masih menggantung, apakah lahan pengganti yang disebutkan benar-benar dibeli oleh PT BTID atau justru lahan negara yang hanya ditanami bakau?

Seorang pegawai Tahura yang dikonfirmasi wartawan terkait status lahan bakau di Jembrana dan Karangasem enggan memberikan jawaban pasti.

“Kalau ditanya apakah lahan pengganti ini sudah sepenuhnya menjadi hak PT BTID atau masih tanah negara, kami belum bisa menjelaskan lebih lanjut,” ujar pegawai Tahura yang enggan disebutkan namanya.

Selain itu, muncul dugaan bahwa keputusan menteri dalam menyetujui tukar menukar lahan ini tidak lepas dari dorongan pejabat daerah setempat. Sebab, tanpa rekomendasi dan persetujuan dari pemerintah daerah, kecil kemungkinan keputusan ini bisa berjalan mulus.

Baca Juga  Laut Milik Rakyat! Instruksi Koster, Pelampung Pembatas Laut BTID Dibongkar di Serangan

Jika lahan pengganti yang dimaksud hanyalah tanah negara yang ditanami bakau tanpa ada pembelian resmi oleh PT BTID, maka muncul pertanyaan besar, apakah negara benar-benar menerima kompensasi setimpal, atau justru terjadi praktik yang merugikan kepentingan publik?