Denpasar – Walhi Bali menuding PT Bali Turtle Island Development (BTID), pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kura-Kura Bali, merugikan warga Serangan.

Hal ini diungkapkan Direktur Eksekutif Walhi Bali, Made Krisna Dinata alias Bokis kepada awak media di Denpasar, Selasa (4/1/25).

Untuk diketahui, PT BTID tengah ramai diperbincangkan buntut kasus perubahan nama Pantai Serangan menjadi Pantai Kura-Kura Bali, hingga polemik pemasangan pagar pelampung di kawasan perairan Serangan.

Reklamasi dinilai merampas ruang masyarakat Serangan

Bokis menyebut, reklamasi di Pulau Serangan telah lama menjadi polemik dan merampas ruang milik warga lokal.

Dicatut dari penelitian Parwata, dkk (2015), wilayah pemukiman Serangan menyempit menjadi sekitar 46,5 hektar. Pascareklamasi, sambung Bokis, lahan yang dikelola PT BTID mencapai 435 hektar. Padahal, sebelumnya kawasan tersebut dikuasai secara penuh oleh warga setempat.

Baca Juga  Proses Diduga Ganjil, 62 Hektar Tahura Bisa Disertifikatkan PT BTID

“Dan pada akhirnya luasan Desa Serangan tinggal 46,5 hektar. Jadi hampir setengah wilayah Serangan ini hilang. Begitu pula dengan penguasaan garis pantai,” sesalnya.

Proyek kanal wisata diduga menjadi bentuk privatisasi kawasan Serangan

Bokis membeberkan, privatisasi Pulau Serangan terjadi akibat adanya proyek kanal wisata. Pihaknya menduga ada sejumlah kejanggalan yang dilakukan oleh PT BTID kepada masyarakat, termasuk privatisasi daerah perairan menggunakan pelampung sehingga membatasi akses para nelayan.

Lebih lanjut, ia yang merujuk pada hasil penelitian Woinarski (2002), menyebutkan, reklamasi Serangan telah menimbulkan berbagai masalah.

“Kami duga ini sebagai bentuk privatisasi kawasan oleh PT BTID yang mengisolasi masyarakat serangan,” tegasnya.

Pengajuan PKKPRL diduga menjadi usaha menguasai perairan Serangan

Baca Juga  Investasi KEK, Jangan Sampai Bali Jadi Taman Bermain Investor Asing

Bokis mengatakan, PT BTID melakukan pengajuan terkait kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL) pada September 2023.

Menurutnya, apabila PKKPRL ini diterbitkan, maka akan menjadi legitimasi yang sah bagi PT BTID untuk melakukan privatisasi perairan di Serangan.

“Sehingga akses masyarakat Serangan dalam mengakses perairan Serangan akan semakin menyempit,” ujarnya.

Walhi Bali pertanyakan ketegasan Tahura Ngurah Rai Bali

Walhi Bali juga mempertanyakan keberpihakan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai kepada masyarakat Serangan.

Tahura Ngurah Rai dituding telah melakukan penggusuran terhadap UMKM karena berada di wilayah Mangrove. Namun, di sisi lain, menerima pengakuan kawasan Mangrove yang dilakukan oleh pihak BTID.

“Kami menantang Tahura Ngurah Rai, berani nggak nolak pengajuan 27 hektare oleh PT BTID?,” ucap Bokis.

Baca Juga  Respons Jaya Negara terhadap Pergantian Nama Pantai Serangan ke Pantai Kura-Kura Bali

Pemerintah didesak untuk menangani persoalan ini dengan serius

Walhi Bali menyebut polemik PT BTID berpotensi menimbulkan dampak negatif, terutama terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat.

Ia berharap, kedepannya pemerintah dapat dengan serius menangani persoalan tersebut.

“Pemangku kebijakan di Bali, baik itu gubernur, wali kota dan juga pemangku kebijakan di pusat, presiden, kementerian-kementerian terkait itu sudah sepatutnya mengambil sikap yang berpihak terhadap rakyat,” ucapnya.

“Untuk kementerian kelautan jangan menerbitkan PKKPRL karena itu kami duga sebagai upaya untuk mensegmentasi atau menguasai perairan di serangan,” tegasnya.

Reporter: Komang Ari