Ada Apa di PN Denpasar? Sengketa Warisan Masuk Jalur Pidana
Denpasar – Kejanggalan dalam kasus hukum yang menjerat Ngurah Oka semakin menjadi sorotan publik. Kuasa hukum Ngurah Oka, I Made Somya Putra, menegaskan bahwa perkara ini sejatinya merupakan sengketa kepemilikan tanah yang semestinya diselesaikan melalui jalur perdata, bukan pidana.
Namun, pelapor melakukan manuver hukum dengan dugaan pemalsuan silsilah keluarga, kasus ini justru bergulir ke ranah pidana hingga ke PN Denpasar, namun penuh dengan kejanggalan-kejanggalan yang terungkap di persidangan.
“Ini jelas bentuk kriminalisasi hukum. Bagaimana mungkin kasus yang menyangkut klaim kepemilika n bisa berubah menjadi perkara pemalsuan dokumen? Ini bukan hanya cacat hukum, tapi juga berpotensi menjadi preseden buruk bagi dunia peradilan di Bali, akibat menuver-manuver yang penuh rekayasa,” ujar Somya Putra kepada wartawan, Selasa (11/02/2025)
Somya Putra menambahkan bahwa yang lebih memprihatinkan adalah pelapor dalam kasus ini berasal dari Puri Jambe Suci, yang tidak memiliki hubungan darah dengan pihak yang bersengketa, pada saat melapor tidak memegang obyek yang dilaporkan.
“Jika pihak yang melapor saja tidak memiliki hubungan langsung terhadap obyek sengketa, lantas di mana dasar hukumnya? Ini jelas menunjukkan ada kepentingan tersembunyi di balik kasus ini,” tegasnya.
Somya Putra menyampaikan sidang yang tengah berlangsung di PN Denpasar juga menunjukkan indikasi kuat bahwa kasus ini tidak seharusnya masuk ke ranah pidana. Menurut pihaknya, banyak saksi yang dihadirkan justru lebih banyak membahas kepemilikan tanah ketimbang dugaan pemalsuan silsilah keluarga.
“Dakwaan jaksa menuding Ngurah Oka telah memalsukan silsilah, tetapi pembahasan dalam persidangan justru lebih banyak mengenai status kepemilikan tanah. Ini semakin menguatkan dugaan bahwa kasus ini memang sengketa perdata yang dipaksakan menjadi pidana,” ungkapnya.
Jika dibandingkan dengan kasus lain, pola kriminalisasi melalui jalur pidana bukanlah hal baru dalam sengketa tanah. Ada banyak kasus di Indonesia dimana pihak yang memiliki posisi lebih kuat secara ekonomi dan politik menggunakan instrumen hukum untuk menekan lawannya.
Tujuannya, jika berhasil membuat terdakwa ini menjadi terpidana, maka akan menggunakan hasil putusan pidana menggugat terdakwa untuk merebut tanah yang sudah dikuasainya turun-temurun sejak ratusan tahun.
“Jika kita melihat kejanggalan dalam kasus Ngurah Oka, sulit untuk percaya bahwa ini berjalan normal. Apakah ada sesuatu yang mengalir dalam kasus ini? Karena jika melihat pola persidangannya, kami sangat meragukan adanya independensi hukum yang sejati sejak penyidikan, sampai pada memberikan BAP kepada saksi-saksi ,” ujar Somya Putra.
Somya Putra juga menyinggung kasus serupa di Bali yang pernah terjadi sebelumnya, di mana seseorang dilaporkan secara pidana atas kasus yang sejatinya bersifat perdata.
“Kami melihat pola yang sama sedang terjadi dalam kasus Jro Kepisah ini. Ketika tidak bisa menang di jalur perdata, jalur pidana digunakan untuk menekan pihak lawan. Ini yang tidak boleh dibiarkan,” tegasnya.
Ia pun mempertanyakan, apakah ada upaya dari pihak tertentu untuk menekan PN Denpasar agar mengarahkan kasus ini ke putusan tertentu, melalui penyesatan informasi ke publik dengan berita-berita yang menyesatkan.
Somya Putra menegaskan bahwa kepolisian dan Kejati Bali harus memberikan penjelasan kepada publik mengenai bagaimana laporan dari pihak yang tidak memiliki hubungan darah bisa diproses hingga ke pengadilan.
“Jika mereka tidak mampu menjawab, maka kecurigaan publik akan semakin kuat. Apakah mereka benar-benar menjalankan hukum, atau ada kepentingan khusus yang mereka lindungi?” katanya.
Ia juga menuntut agar ada audit pengawasan publik dan MA serta MK terhadap kasus ini untuk memastikan bahwa hukum benar-benar ditegakkan secara adil.
“Kami tidak ingin Bali menjadi contoh buruk dalam penegakan hukum. Jika kasus seperti ini bisa berjalan, maka siapa pun bisa dipidana hanya dengan tuduhan yang lemah dan rekayasa hukum,” ujarnya.
Kasus ini, menurut Somya Putra, adalah ujian besar bagi sistem peradilan di Bali. Jika kejanggalan ini terus berlanjut, maka publik berhak mencurigai bahwa hukum bukan lagi sebagai alat keadilan, melainkan senjata bagi pihak berkepentingan untuk menekan lawannya.
Dalam pernyataan akhirnya, Somya Putra meminta PN Denpasar agar tidak mengikuti jejak PN Surabaya yang kini tercoreng akibat kasus suap.
“Kami berharap Kejaksaan bisa menjaga integritasnya dan Pengadilan Negeri Denpasar saya percaya mampu menjadi kepercayaan publik, tidak membiarkan kasus ini menjadi contoh buruk bagi sistem hukum di Bali. Jangan sampai peradilan kita justru menjadi tempat di mana hukum bisa diperjualbelikan,” tegasnya.
Masyarakat Bali kini terus mengawasi jalannya persidangan ini. Jika PN Denpasar tetap membiarkan kejanggalan ini berlanjut, maka bukan hanya keadilan yang hilang, tetapi juga kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Bali.

Tinggalkan Balasan