Denpasar – Persidangan kasus dugaan pemalsuan silsilah dengan terdakwa Anak Agung Ngurah Oka di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar semakin membuka tabir kejanggalan. Mantan Camat Denpasar Selatan, Anak Agung Gede Risnawan, secara sepihak mencabut tanda tangannya dalam surat pernyataan silsilah yang digunakan terdakwa.

Namun, tindakan Risnawan ini justru berpotensi menjerat dirinya sendiri dalam persoalan hukum. Pencabutan tanda tangan setelah bertahun-tahun berlalu, tanpa dasar hukum yang jelas, dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang serta berpotensi melanggar hukum administrasi negara maupun pidana.

Risnawan mengklaim bahwa tanda tangan dalam dokumen tersebut tidak sah dan harus dibatalkan.

“Ada silsilah (tahun) 1983, jadi silsilah dikembalikan ke silsilah yang lama,” ujar Risnawan dalam persidangan pada Selasa (11/2/2025).

Namun, pernyataan ini justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan. Jika silsilah tahun 1983 dianggap benar, mengapa ia menandatangani dokumen lain saat menjabat? Jika ia mengaku tidak mengetahui keabsahan dokumen tersebut, lalu mengapa ia tetap membubuhkan tanda tangannya?

Baca Juga  Penyerang Markas Satpol PP Divonis 2 Tahun, Kasat: Semoga Jadi Pelajaran

Ketika dicecar oleh kuasa hukum terdakwa,, Risnawan mengaku baru mengetahui persoalan ini pada tahun 2022 setelah dipanggil Polda Bali. Padahal, ia menjabat sebagai Camat pada periode 2011 hingga 2017. Fakta ini mengindikasikan bahwa ia tidak melakukan verifikasi dengan benar saat menjabat, yang bisa dianggap sebagai kelalaian administratif.

Lebih mencurigakan lagi, penyidik Polda Bali tidak pernah menyebut adanya pemalsuan tanda tangan dalam penyelidikan. Artinya, tidak ada bukti kuat bahwa terdakwa memalsukan dokumen, sementara tindakan Risnawan justru semakin membingungkan dan bisa berujung pada konsekuensi hukum bagi dirinya sendiri.

Menurut kuasa hukum terdakwa, Somya Putra, menegaskan bahwa tindakan Risnawan mencabut tanda tangan secara sepihak tidak bisa dibenarkan secara hukum.

Baca Juga  Korban Kecewa, 5 Otak Investasi Bodong Dituntut JPU Hanya 1,8 Tahun

“Dalam hukum administrasi negara, sebuah keputusan pejabat yang telah ditetapkan tidak bisa serta-merta dibatalkan begitu saja, apalagi setelah bertahun-tahun. Ada mekanisme yang harus diikuti,” ujar Somya Putra

Somya mengacu pada Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UU No. 30 Tahun 2014) yang mengatur bahwa keputusan tata usaha negara hanya dapat dibatalkan melalui mekanisme resmi, seperti putusan pengadilan atau proses administratif oleh pejabat berwenang saat ini.

Selain itu, Somya juga menyoroti potensi pelanggaran pidana dalam tindakan Risnawan.

“Jika ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam pencabutan ini, maka yang bersangkutan bisa dijerat dengan Pasal 421 KUHP,” tegasnya.

Pasal tersebut menyatakan bahwa pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk menguntungkan atau merugikan pihak tertentu dapat dikenakan pidana penjara.

Lebih jauh, Somya menilai bahwa pencabutan tanda tangan ini bisa masuk dalam kategori pemalsuan dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP.

Baca Juga  Dalang Kasus Satu Koper Narkotika Dituntut Hukuman Mati

“Jika pencabutan ini dilakukan dengan motif tertentu, misalnya tekanan atau kepentingan pribadi, maka bisa masuk dalam pemalsuan dokumen yang ancaman pidananya cukup berat,” jelasnya.

Somya juga mengingatkan bahwa pejabat yang menandatangani suatu dokumen bertanggung jawab penuh atas keabsahannya. Jika Risnawan merasa dokumen itu tidak sah, ia seharusnya melakukan verifikasi saat masih menjabat, bukan baru mencabutnya bertahun-tahun kemudian setelah muncul masalah hukum.

Kasus ini semakin menunjukkan bahwa kesaksian plin-plan mantan camat ini tidak hanya meragukan, tetapi juga membuka peluang bagi aparat penegak hukum untuk menelusuri lebih jauh apakah ada unsur pelanggaran pidana dalam tindakan pencabutan tanda tangan ini. Jika terbukti ada unsur penyalahgunaan wewenang atau pemalsuan dokumen, bukan tidak mungkin Risnawan justru menjadi pihak yang harus bertanggung jawab secara hukum.