Astungkara, Wayan Koster Hidupkan Lagi Aksara Bali
Denpasar – Ketika Wayan Koster pertama kali mencanangkan Peraturan Gubernur Nomor 80 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali, banyak yang mencibirnya.
Ada yang menganggap ini hanya formalitas, ada yang menuduhnya sebagai kebijakan tanpa dampak nyata, bahkan ada yang mengatakan bahwa sastra Bali sudah mati dan tak akan pernah bisa bangkit lagi.
Di era digital yang serba cepat, siapa yang masih mau membaca kakawin, geguritan, atau kidung? Siapa yang masih peduli dengan aksara Bali, sementara anak-anak lebih sibuk dengan gawai dan media sosial? Banyak yang pesimis, seolah-olah perjuangan ini hanyalah upaya sia-sia melawan arus zaman.
Namun, Wayan Koster punya keyakinan lain. Ia melihat sastra Bali bukan sekadar rangkaian kata indah yang tertulis dalam lontar-lontar tua, tetapi roh dari peradaban Bali itu sendiri. Sastra Bali bukan hanya milik masa lalu, melainkan bagian dari jati diri yang harus tetap hidup di masa depan.
Koster tidak berhenti pada sekadar regulasi di atas kertas. Ia tahu, sastra Bali hanya bisa bertahan jika dijadikan bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Maka, lahirlah Bulan Bahasa Bali, sebuah gerakan tahunan yang dirancang untuk menghidupkan kembali kebanggaan terhadap bahasa dan sastra Bali.
Dalam acara ini, sastra Bali tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang usang atau ketinggalan zaman. Lomba-lomba menulis geguritan, membaca lontar, hingga pertunjukan sastra Bali kontemporer digelar di berbagai kabupaten dan kota. Anak-anak sekolah, mahasiswa, hingga seniman mulai terlibat.
Pemerintah Provinsi Bali juga tidak tinggal diam. Penggunaan aksara Bali diwajibkan di ruang publik, kurikulum sekolah diperkuat dengan pelajaran aksara dan sastra Bali, serta beasiswa diberikan kepada mereka yang ingin mendalami sastra Bali secara akademis.
Bagi sebagian orang, langkah-langkah ini mungkin terlihat kecil. Tetapi bagi mereka yang mencintai budaya Bali, ini adalah nafas baru bagi sastra yang hampir ditinggalkan generasi penerus.
Awalnya, perjuangan ini seperti menanam benih di tanah yang kering. Banyak yang meragukan apakah minat terhadap sastra Bali benar-benar bisa tumbuh kembali. Tetapi Koster tidak menyerah. Ia terus menggandeng budayawan, akademisi, dan komunitas sastra untuk merawat benih ini.
Kini, anak-anak muda mulai menulis puisi dalam aksara Bali dan membagikannya di media sosial. Komunitas sastra Bali bermunculan di berbagai daerah. Lomba membaca lontar yang dulu dianggap membosankan, kini justru menjadi ajang yang dinantikan. Bahkan, beberapa sekolah dan universitas mulai menciptakan inovasi pembelajaran sastra Bali yang lebih modern dan menarik.
Yang dulu dianggap usang, kini mulai dianggap berharga. Yang dulu dicibir sebagai kebijakan tanpa makna, kini mulai membuktikan hasilnya.
“Kami dulu menganggap sastra Bali sulit dipelajari. Tapi sekarang, setelah kami memahami isinya, ternyata sastra ini begitu indah dan dalam maknanya,” ujar seorang mahasiswa yang kini aktif dalam komunitas sastra Bali.
Perubahan ini tidak terjadi dalam semalam. Ini adalah hasil dari perjuangan bertahun-tahun, di mana seorang pemimpin tidak hanya berbicara tentang pelestarian budaya, tetapi benar-benar mengambil langkah konkret untuk menjaganya.
Wayan Koster telah membuka jalan. Sastra Bali kini bukan hanya tinggal dalam naskah-naskah kuno, tetapi mulai kembali hidup dalam keseharian masyarakat. Namun, perjuangan ini belum selesai. Masih ada banyak tantangan, terutama bagaimana memastikan bahwa minat ini terus tumbuh dan berkembang di generasi berikutnya.
Tetapi satu hal sudah pasti sastra Bali tidak akan pernah mati, selama masih ada pemimpin yang peduli dan generasi muda yang mau menjaga warisan leluhurnya. Dan di bawah kepemimpinan Wayan Koster, sastra Bali bukan sekadar dikenang, tetapi benar-benar dihidupkan kembali.
Tinggalkan Balasan