Denpasar – Gubernur Bali, Wayan Koster, kembali menegaskan sikapnya terhadap proyek-proyek yang berpotensi merusak lingkungan dalam Sidang Paripurna DPRD Bali. Dalam kesempatan tersebut, Koster secara khusus menyinggung pemasangan pelampung pagar laut oleh Bali Turtle Island Development (BTID) di kawasan perairan Serangan.

“Jangan sampai ada proyek yang mengatasnamakan pembangunan, tetapi justru merusak ekosistem laut kita. Bali ini punya kearifan lokal yang harus dijaga, bukan malah dirusak dengan pagar laut yang tidak jelas manfaatnya,” tegas Koster dengan nada serius di hadapan anggota dewan, Selasa (5/3).

Ia menambahkan bahwa pemerintah telah bertindak dengan membongkar pagar laut tersebut demi kepentingan masyarakat.

“Kemarin di Serangan adanya pagar pembatas laut itu sudah dibuka. Supaya nelayan bisa beraktivitas kembali. Karena pengusaha pariwisata di situ kan tidak beli dan memiliki pantai. Yang dimiliki cuma daratnya doang, jadi jangan menguasai untuk kepentingan hal yang di luar kewenangan,” kata Koster.

Baca Juga  Direktur PT Satria Trans Jaya: Bus TMD Siap Dioperasikan Kembali

Gubernur Koster sebelumnya dikenal memiliki sikap tegas terhadap proyek-proyek yang berpotensi merusak lingkungan dan mengabaikan kepentingan masyarakat adat Bali.

Dengan pernyataannya di sidang paripurna ini, ia kembali menunjukkan bahwa kebijakan pembangunan di Bali harus berbasis keberlanjutan dan tidak boleh mengorbankan lingkungan maupun hak masyarakat lokal.

Pemasangan pelampung pagar laut oleh BTID sebelumnya menuai protes dari masyarakat setempat dan aktivis lingkungan. Proyek ini dinilai tidak hanya mengganggu ekosistem laut, tetapi juga membatasi akses nelayan tradisional yang selama ini menggantungkan hidupnya dari perairan sekitar Serangan.

Beberapa aktivis menuding proyek tersebut sebagai langkah awal untuk mengamankan klaim lahan reklamasi oleh BTID, yang sejak awal menuai kontroversi.

Baca Juga  Koster Ingatkan Pelaku Usaha: Mau Bisnis di Bali, Wajib Urus Sampah

“Ini bukan sekadar pagar laut, ini strategi untuk menutup akses publik dan mengamankan kepentingan bisnis yang sejak dulu bermasalah,” ujar seorang aktivis lingkungan yang enggan disebutkan namanya.

Kini, sorotan publik tertuju pada langkah pemerintah provinsi selanjutnya. Akankah pagar laut BTID ini benar-benar hilang selamanya, atau justru muncul kembali dengan dalih yang berbeda?