Luncurkan 7 Buku, Putri Koster Ditengah Penjaga Kata
Denpasar – Keteguhan kata dan semangat literasi kembali bergema di Gedung Kertha Sabha, Sabtu (10/5/2025). Ketua TP PKK Provinsi Bali, Ny. Putri Suastini Koster, yang dikenal sebagai penyair dan pegiat kebudayaan, memfasilitasi peluncuran tujuh buku karya sembilan penulis lokal. Dalam acara yang sarat makna itu, bukan hanya sastra yang dirayakan tetapi juga keteguhan jiwa para penulisnya.
Salah satu sorotan paling menyentuh adalah hadirnya Ni Komang Yuni Lestari, penulis tunanetra yang merilis buku berjudul Alia Tahu Semua Dosa Laki-Laki. Ia tidak melihat dunia, namun menulis dengan terang yang lahir dari dalam.
“Keindahan hatinya melampaui mata. Karyanya mencerahkan,” ujar Putri Koster haru, seraya mengajak publik lebih aktif membeli buku lokal, bukan sekadar hadir dalam seremoni sastra.
Tujuh buku yang diluncurkan bukan sekadar kumpulan tulisan. Ia adalah seruan agar literasi tak hanya hidup di ruang akademik, tapi berakar di keseharian.
Dari kajian sastra Prof. Gde Artawan hingga kisah cinta Jayaprana Layonsari karya Putu Satria Kusuma, baik puisi-puisi Pandega Wirasabda yang menggugah jiwa, hingga Sekelumit Sejarah Teater Angin yang ditulis tiga perempuan tangguh yaitu I Gst. Ayu Putu Rasmini, I A. Suniastiti, dan I G. A. Dewi Parwati.
“Ketika kita menghadiahi orang buku, itu lebih dari sekadar materi. Ada jiwa yang dititipkan,” ucap Putri Koster dalam sambutannya yang sarat renungan. Ia juga menyinggung pentingnya media sosial diisi oleh suara-suara sastrawi. “Jika sastrawan lebih banyak bersuara, media sosial tak akan sebising ini,” sindirnya tajam, namun elegan.
Acara ini sekaligus membuka jalan menuju mimpi yang lebih besar yaitu Bali International Book Fair. Putri Koster menekankan pentingnya dominasi karya lokal dalam pameran itu. “Jangan sampai rak-raknya justru dikuasai buku-buku dari luar,” tegasnya.
Kain tenun endek Bali menjadi bingkisan simbolis yang diberikan kepada sembilan penulis. Sebuah tanda penghormatan dari tradisi kepada tulisan dari pemerintah kepada suara-suara yang kerap sunyi, namun menggetarkan. “Mereka tidak hanya menulis. Mereka merekam zaman,” ujar Putri Koster mengingatkan.
Tinggalkan Balasan