Dukungan Walhi Bali untuk Proyek LNG Sidakarya Tuai Sorotan
Denpasar – Dukungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali terhadap proyek pembangunan floating storage regasification unit (FSRU) liquefied natural gas (LNG) di Sidakarya, Denpasar Selatan menuai sorotan. Walhi dikabarkan telah mendukung meski kajian dampak lingkungan proyek tersebut dinilai belum lengkap dan tidak transparan.
Dalam pemberitaan sebuah media, sumber pemerintahan yang tidak disebut namanya menyatakan rencana pembangunan FSRU LNG itu telah mendapat dukungan berbagai pihak, termasuk Walhi yang selama ini dikenal kritis terhadap segala tindakan yang berpotensi merusak lingkungan dan alam.
Sayangnya, dikonfirmasi terkait dukungan tersebut, Direktur Eksekutif Walhi Bali, Made Krisna Dinata sama sekali tidak memberikan penjelasan. “Maaf, untuk hari ini saya belum bisa. Saya sedang ada agenda rapat,” jawabnya saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, Sabtu (10/5/2025).
Hingga berita ini ditayangkan upaya untuk mengkonfirmasi klaim dukungan Walhi terhadap proyek tersebut belum juga mendapat jawaban. Sambungan telepon maupun pesan Whatsapp awak media ini tidak mendapat respon dan jawaban.
Sebelumnya, dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) rencana pembangunan FSRU LNG Sidakarya dinilai belum lengkap dan tidak transparan.
Bendesa Adat Serangan, I Nyoman Gede Pariatha meminta rencana proyek ini dilakukan kajian lebih lengkap terhadap dampak ekologis dan sosial di wilayah pesisir Bali Selatan mengingat rencana proyek ini dibangun sangat dekat dengan wilayah desa adatnya.
“Dalam pertemuan di Hotel Mercure Sanur, kita diajak membahas tentang AMDAL-nya (kajian dampak lingkungan). Salah satu yang tidak tertuang adalah soal kajian pariwisata dimana kalau kita lihat dari aspek geografis, bahwa pembangunan LNG sangat dekat palemahan Desa Adat Serangan,” ungkap, Nyoman Pariatha, Sabtu 10 Mei 2025.
Nyoman Pariatha menegaskan masyarakat, nelayan dan pekerja pariwisata di kawasan tersebut tentu akan terdampak jika tidak dikaji secara matang. Ia berharap hal ini perlu diperhatikan agar pengaturan wilayah laut berjalan lancar, nyaman dan tidak merugikan.
Sementara, Bendesa Adat Pedungan, I Gusti Putu Budiarta mengatakan masyarakat adat Pedungan belum menentukan sikap lantaran mereka perlu mengetahui pasti dampak lingkungan maupun sosial dari proyek tersebut.
“Di Desa Adat Pedungan keputusan resminya belum kita putuskan. Kita perlu mengkaji terlebih dahulu, apakah proyek LNG ini memberikan dampak positif atau negatif terutama mengenai dampaknya terhadap masyarakat,” ujarnya.
Kajian kritis atas proyek ini juga sebelumnya datang dari elemen mahasiswa. Organisasi mahasiswa Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menilai rencana pembangunan FSRU Sidakarya yang hanya berjarak 500 meter dari garis pantai perlu dievaluasi serius.
LMND menilai lokasi yang sangat dekat dengan kawasan padat penduduk, destinasi wisata Pantai Sanur, dan Pulau Serangan, dapat membawa potensi risiko besar terhadap keselamatan, lingkungan, dan keberlanjutan pariwisata Bali.
Ketua LMND Bali, I Made Dirgayusa mengatakan kondisi alami yang direncanakan menjadi letak FSRU LNG Sidakarya hanya memiliki kedalaman 6–8 meter.
Sehingga, proyek ini, katanya, memerlukan pengerukan hingga 15 meter untuk mencapai kedalaman ideal ±23m seperti FSRU yang telah dibangun di Provinsi Lampung.
Pengerukan ini diperkirakan akan merusak habitat laut, sedimentasi, serta mengganggu biota laut dan ekosistem mangrove di Taman Tahura Ngurah Rai.
Lebih jauh, LMND juga menyoroti dampak visual dan polusi cahaya yang ditimbulkan oleh keberadaan kapal FSRU berukuran raksasa yang harus dinyalakan terang pada malam hari untuk navigasi sehingga dapat mengganggu pemandangan dan kenyamanan warga.
Sebagai perbandingan, FSRU di lokasi lain seperti Lampung, Teluk Jakarta, dan OLT Toscana Italia ditempatkan jauh dari garis pantai yaitu antara 12 hingga 22 kilometer untuk meminimalkan dampak terhadap masyarakat dan lingkungan.
FSRU Lampung, misalnya, ditempatkan sejauh 21 kilometer dari pantai guna memastikan panas radiasi dan awan gas dari skenario kecelakaan terburuk dapat mereda sebelum mencapai daratan.
“FSRU Sidakarya justru bertolak belakang dengan standar keselamatan global. Ini harus dievaluasi ulang demi keselamatan rakyat Bali dan kelestarian lingkungan,” tegas Dirga.
LMND menilai perlu adanya studi kelayakan ulang yang transparan, melibatkan masyarakat, dan mempertimbangkan opsi lokasi lain yang lebih aman dan ramah lingkungan.
Reporter: Yulius

Tinggalkan Balasan