Denpasar – Dulu, desa adat harus bergotong-royong urunan untuk membiayai upacara, merawat pura, hingga membayar kebutuhan kelembagaan adat. Namun semua berubah sejak Wayan Koster memimpin Bali. Untuk pertama kalinya, negara secara sah hadir mendanai desa adat lewat skema hukum yang jelas dan terukur.

Mulai tahun 2019, Gubernur Wayan Koster menggulirkan Bantuan Keuangan Khusus (BKK) sebesar Rp300 juta per tahun kepada setiap dari 1.493 desa adat di seluruh Bali. Dana tersebut langsung masuk ke rekening desa adat, tanpa perantara, dan nilainya mencapai hampir Rp448 miliar setiap tahun.

Skema ini diatur secara hukum melalui Peraturan Gubernur Bali Nomor 34 Tahun 2019 tentang BKK kepada Desa Adat, serta diperkuat dalam kerangka hukum yang lebih besar melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali. Regulasi inilah yang menjadi dasar legal, menjadikan desa adat sebagai subjek hukum yang sah menerima dan mengelola dana dari APBD secara mandiri dan bertanggung jawab.

Baca Juga  Pecalang dan Regulasi Koster dalam Sistem Keamanan Bali

“Dulu kami harus urunan besar-besaran untuk biaya upacara dan merawat pura. Sekarang bantuan dari pemerintah sangat meringankan, terutama bagi krama yang ekonominya terbatas,” ujar Bendesa Adat Kuta, Komang Alit Ardana, saat ditemui Minggu (18/5/2025).

Menurutnya, desa adat di Bali adalah sesuatu yang unik, bahkan tidak ada duanya di Indonesia. “Desa adat itu benteng utama Bali. Di dalamnya hidup adat istiadat, seni, budaya, dan nilai-nilai Hindu yang kami jaga turun-temurun,” kata Jro Bendesa yang dikenal dekat dengan masyarakat ini.

Melestarikan semua itu, menurut Alit Ardana, tidak cukup hanya dengan semangat. Dibutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak kecil. “Swadharma krama masih kuat, tapi kehadiran negara sangat berarti. Sekarang pemerintah ikut membantu menjaga warisan budaya ini agar tetap ajeg,” tambahnya.

Baca Juga  Koster Minta Kadernya Turun ke Desa-Desa Serap Aspirasi Masyarakat

Tak hanya soal dana, Koster juga membawa terobosan hukum. Lewat kerja sama dengan Kejaksaan Tinggi Bali, hadir dua inovasi besar berbasis kearifan lokal: Bale Paruman Adhyaksa dan Bale Restorative Justice. Keduanya menjadi ruang bagi desa adat untuk berdialog dan menyelesaikan konflik secara adat, namun tetap dalam kerangka hukum negara.

Gagasan ini digulirkan oleh Kepala Kejati Bali, Ketut Sumedana, agar desa adat tak hanya kuat dari sisi adat, tetapi juga terlindungi secara hukum. Hasilnya, pengelolaan dana desa adat menjadi lebih akuntabel, terhindar dari penyimpangan, dan diiringi dengan edukasi hukum yang membumi.

Era Koster juga ditandai dengan lahirnya Dinas Pemajuan Masyarakat Adat, pembangunan kantor Majelis Desa Adat (MDA) di seluruh kabupaten/kota, hingga penyediaan kendaraan operasional bagi MDA melalui program CSR. Semua ini memperkuat posisi desa adat sebagai institusi resmi yang diakui negara.

Baca Juga  Parwata Sebut Badung Tetap Berpegang pada Tradisi di Pilgub Mendatang

“Kalau desa adat kuat, Bali akan tetap ajeg, tak mudah goyah oleh arus zaman,” ujar Koster dalam salah satu pidatonya.

Kini, desa adat tak lagi dipandang sebagai entitas pinggiran. Negara hadir secara sah, bukan hanya memberi dana, tapi juga perlindungan hukum. Di tengah dunia yang terus berubah, Bali justru makin kokoh berakar dari nilai-nilai lokalnya.

Era Koster menjadi babak baru, desa adat tak lagi hanya dijaga oleh swadaya krama, tapi kini dijamin eksistensinya oleh negara secara sah, sistematis, dan berbasis hukum.