Dipastikan Tutup, Desa Siapa Mau Jadi TPA Seperti di Suwung?
Denpasar – TPA Suwung akhirnya akan ditutup. Tempat buangan sampah terbesar di Bali, yang sejak 1984 jadi tumpuan Denpasar dan kawasan SARBAGITA, dalam waktu dekat resmi masuk masa akhir.
Sekilas kabar ini melegakan. Tapi jangan cepat puas dulu. Satu pertanyaan besar belum terjawab. Desa siapa yang mau dijadikan TPA berikutnya? Tentu saja tidak ada yang menginginkan. Tidak akan ada desa yang mau mewarisi bau busuk seperti di TPA Suwung.
TPA Suwung awalnya dibangun dengan niat baik. Mengacu surat izin Menteri Kehutanan tahun 1984, lahannya 10 hektare, letaknya di kawasan Tahura Ngurah Rai.
Konsepnya awal sanitary landfill, tertib dan ramah lingkungan. Tapi di lapangan? Jauh panggang dari api. Bertahun-tahun jadi gunung sampah terbuka. Bau menyengat. Air tercemar. Warga sekitar resah. Konflik sosial tak kunjung selesai.

Sudah ada banyak aturan. Undang-Undang Pemerintah Daerah tahun 1999, Perjanjian SARBAGITA tahun 2000, hingga SKB tahun 2001 soal kebersihan. Tapi hasilnya nol besar. Suwung tetap jadi bukti telanjang soal ketimpangan. Kota bersih, satu desa yang nanggung semua akibatnya.
Sekarang TPA Suwung dipastikan akan ditutup. Lalu apa? Apakah kita akan ulangi pola lama? Tunjuk satu desa, kasih janji pembangunan seadanya, lalu buang semua sampah ke sana? Ini bukan solusi. Ini kotor, secara moral dan lingkungan.
Jaga kebersihan lingkungan itu bukan berarti mengotori desa lain. Itu bukan keadilan, tapi pembiaran. Kalau bersih hanya karena sampah dipindahkan ke tempat lain, itu bukan bersih, itu munafik.
Sudah waktunya semua desa, semua kota, sadar. Buang sampah bukan sekadar urusan Dinas Kebersihan. Ini soal budaya. Soal tanggung jawab pribadi. Mulai dari rumah. Pilah sampah. Kurangi sampah. Jangan asal buang. Dan, yang paling penting, hentikan cara berpikir “asal bukan di tempatku”.

TPA Suwung harus menjadi pelajaran, bukan sekadar lokasi yang ditutup dan dilupakan. Ia adalah peringatan bahwa gaya hidup konsumtif tanpa tanggung jawab lingkungan akan selalu mencari korban baru.
Dan jika kita benar-benar ingin desa kita bersih, buatlah sistem pengelolaan sampah sendiri. Jangan bergantung pada desa lain, dan jangan pernah mengizinkan desa lain membuang sampahnya ke desa kita.
Tegaskan dengan aturan lokal, bangun kesadaran warganya, dan jadikan ini kebijakan yang mengikat. Karena kemandirian mengelola sampah adalah bentuk tertinggi dari tanggung jawab ekologis dan kedaulatan desa.
Jangan tunggu sampai desa kita yang dijadikan TPA berikutnya, baru kita bersuara. Jaga kebersihan, tapi jangan kotori desa lain. Jaga Bali, mulai dari kesadaran diri sendiri.
Penulis: Wayan Irawan
Dewan Pakar Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Bali

Tinggalkan Balasan