Nyoman Parta: Putusan MK Soal Pemilu Terpisah Terlihat Jelas Konflik Norma
Denpasar – Anggota DPR RI, Nyoman Parta, menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah. Menurut Parta, putusan MK nomor 135/PUU-XXII/2024 ini berpotensi menimbulkan konflik norma dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Sebab, dalam UUD 1945 pasal 22E salah satu poinnya dinyatakan jelas bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pemilu dimaksud adalah pemilihan DPR RI, DPRD, Presiden dan DPD.
“Jika Pemilu DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan pada tahun 2029, maka frasa dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan dari 2029 adalah tahun 2031. Artinya, ada jeda yang membuat masa jabatan DPRD menjadi tujuh tahun tanpa pemilu. Ini berpotensi melanggar Pasal 22E UUD 1945,” ujar Nyoman Parta, Selasa (1/6/2025).
Kapoksi Badan Legislasi DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan ini menjelaskan, meski MK tidak menyebut menyebut angka tujuh tahun, namun dengan pemilu 2029 sudah dipisah dan hanya berlaku pemilu Nasional, maka jabatan DPRD lebih dari lima tahun.
“Kalau Pemilu untuk DPRD tidak dilakukan lalu bagaimana cara mengisi kekosongan itu? Karena pemilu daerah baru dilaksanakan dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan kemudian,” paparnya.
“Mungkinkah jabatan DPRD dikosongkan? tentu tidak, namun jika diparpanjang lagi dua tahun atau paling lama lagi dua tahun enam bulan, maka jabatan DPRD menjadi tujuh tahun tanpa ada melalui mekanisme pemilu dan inilah yang berpotensi bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945,” tambahnya.
Sementara, menurut Parta, sesuai pasal 24C UUD 45 ayat (1) MK salah satu kewenangannya mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
“Frasa menguji UU terhadap UUD yang dimaksud adalah MK menguji jika ada UU yang bertentangan dengan UUD bukan malah membuat keputusan yang berpotensi bertentangan dengan UUD,” tuturnya.
Karena itu, menurut Parta, putusan tersebut tidak hanya menimbulkan kebingungan hukum, tetapi juga berpotensi mengganggu kualitas demokrasi dan kepastian hukum dalam pelaksanaan Pemilu.
“Konflik Norma berikutnya sifat dari keputusan MK bersifat Final dan mengikat, Jika keputusan MK harus dilaksanakan, karena sifatnya itu walaupun bagaimanapun kontroversialnya bahkan ada yang menyebut inkonstitusional sekalipun, namun harus dilaksanakan. Seperti contoh putusan syarat umur calon Wakil Presiden yg memuluskan pencalonan Gibran, tetap dilaksanakan,” tandasnya.
Reporter: Yulius N

Tinggalkan Balasan