Koster: Kalau Desa Tunggul dan Taro Bisa Kelola Sampah Sendiri, Desa Lain Pasti Bisa!
Gianyar – Gubernur Bali, Wayan Koster, kembali mengingatkan pentingnya keseriusan desa dalam mengelola persoalan sampah. Dalam acara Konsolidasi Gerakan Bali Bersih Sampah yang digelar di Wantilan Pura Samuan Tiga, Gianyar, Jumat (11/7), Koster menyampaikan tantangan terbuka kepada seluruh kepala desa, lurah, dan bendesa adat se-Bali, jika Desa Tunggul dan Taro bisa, desa lain seharusnya juga bisa.
“Coba lihat Desa Tunggul, lihat juga Desa Taro. Mereka bisa kelola sampahnya secara mandiri. Kenapa yang lain enggak bisa? Apa kurang dana? Apa kurang aturan? Tidak. Yang kurang itu tekad dan kemauan,” kata Koster tegas, disambut riuh tepuk tangan peserta yang memenuhi wantilan bersejarah itu.
Di hadapan lebih dari dua ribu pemimpin desa, Koster membeberkan bahwa tumpukan sampah di Bali sudah menyentuh angka 3.436 ton per hari. Lebih dari setengahnya, tepatnya 60 persen berasal dari wilayah desa, kelurahan, dan desa adat. Artinya, jika desa-desa bergerak serius, separuh masalah sampah di Bali bisa selesai.
“Sudah enam tahun kita dorong pengelolaan sampah berbasis sumber. Tapi kenyataannya masih banyak yang jalan di tempat. Ini bukan soal teknis, ini soal keberanian memimpin dan rasa tanggung jawab,” ujarnya.
Ia pun tak segan menyebut bahwa pemimpin yang tidak berani ambil sikap dalam urusan sampah, sebetulnya belum layak disebut pemimpin. “Kalau hanya pintar duduk di rapat, tapi takut buat pararem atau tidak berani tindak pelanggaran, lalu mau dibawa ke mana desa itu?” cetusnya.
Dalam forum itu, bendesa adat dari Desa Punggul, Taro, dan Cemenggaon juga diminta naik panggung untuk membagikan cerita sukses pengelolaan sampah di desa mereka. Ketiganya menegaskan bahwa semua bisa dilakukan asal ada kemauan kuat dan dukungan masyarakat.
Koster pun menegaskan bahwa waktu berpura-pura sudah habis. Mulai 1 Januari 2026, setiap desa, kelurahan, dan desa adat wajib menjalankan sistem pengelolaan sampah berbasis sumber secara utuh. “Tidak ada pilihan. Harus dikerjakan. Desa yang berhasil akan saya beri insentif sampai Rp1 miliar. Tapi yang tidak bergerak, siap-siap tidak dapat apa-apa,” katanya.
Lebih jauh, Gubernur asal Desa Sembiran ini menekankan bahwa sampah bukan sekadar persoalan kebersihan, tetapi menyangkut harga diri Bali sebagai daerah yang menjual nilai budaya dan kesucian alam.
“Kalau kita gagal kelola sampah, artinya gagal menjaga tanah warisan leluhur. Gagal menjaga Bali. Dan kalau itu terjadi, apa yang mau kita wariskan ke anak cucu?” ujarnya menutup dengan nada penuh keseriusan.

Tinggalkan Balasan