Denpasar – Sidang lanjutan kasus dugaan pemalsuan silsilah yang menyeret nama Anak Agung Ngurah Oka kembali digelar di Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa, 22 Juli 2025. Namun, alih-alih menguatkan dakwaan, sidang kali ini justru menelanjangi kelemahan mendasar dari konstruksi hukum kasus tersebut.

Adalah Prof. Dr. Sadjijono, S.H., M.Hum, guru besar hukum pidana dari Universitas Bhayangkara Surabaya, yang tampil sebagai ahli. Di hadapan majelis hakim, ia menyampaikan pandangan tegas dan tajam yang berpotensi membalik arah perkara.

“Tidak bisa kita menyebut silsilah itu palsu hanya karena ada yang tidak sepakat. Harus ada putusan perdata dulu yang menyatakan dokumen tersebut tidak sah. Tanpa itu, delik pidana tidak bisa berdiri,” ujar Prof. Sadjijono, mengacu langsung pada Pasal 263 dan 264 KUHP.

Baca Juga  Dua Kali Didakwa Kerugian Sama, Mang Tri Ajukan Ne Bis In Idem

Pasal 263 KUHP menyasar pemalsuan surat, sedangkan Pasal 264 menambahkan sanksi berat jika surat itu merupakan akta otentik. Namun, menurut Sadjijono, unsur niat jahat (mens rea) dan kerugian nyata dalam perkara ini belum terbukti. Apalagi, sampai hari ini tidak ada satu pun putusan perdata yang menyatakan silsilah tersebut palsu.

“Ini bukan ranah pidana. Yang bisa menyatakan silsilah itu palsu adalah keluarga, bukan orang luar yang punya motif lain,” tandasnya. Pernyataan itu seketika menjadi perbincangan hangat di media sosial, mengingat Sadjijono dikenal publik usai videonya viral saat ‘mengkuliahi’ polantas di jalan raya beberapa tahun silam.

Dari kubu pembela, pengacara I Kadek Duarsa, SH, CLA dan Made Somya Putra, SH, MH, menyambut kesaksian ahli ini sebagai angin segar bagi keadilan. “Sejak awal kami tegaskan: ini perkara cacat formil. Tidak ada pemalsuan, yang ada hanyalah interpretasi silsilah yang berbeda,” kata Duarsa.

Baca Juga  Saksi Ungkap Silsilah Jero Kepisah Asli Bukan Palsu, Rekayasa Tuduhan Eka Wijaya

Somya Putra menambahkan bahwa kriminalisasi atas nama sejarah keluarga bukan saja menyesatkan hukum, tetapi juga merusak nilai-nilai adat dan warisan budaya Bali.

“Pernyataan Prof. Sadjijono memperjelas segalanya. Jika tidak ada unsur pidana, maka ini bukan tempatnya di ruang sidang pidana. Ini seharusnya ranah waris dan sejarah, bukan alat menyingkirkan orang lain secara hukum,” pungkas Somya.

Kini, publik menanti apakah majelis hakim memiliki keberanian moral untuk bersikap adil di tengah pusaran opini dan tekanan. Apakah hukum akan berdiri sebagai panglima, atau justru tunduk pada skenario kekuasaan?