Denpasar – Pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P, Hasto Kristiyanto, usai divonis 3,5 tahun karena terlibat kasus suap Harun Masiku menimbulkan banyak pertanyaan.

Di depan awak media, Hasto mengaku telah diterima sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum di salah satu kampus. Ia bertekad mengambil studi hukum karena ingin menjadi pengacara setelah merasa menjadi korban kriminalisasi.

Kendati demikian, bolehkah seorang tahanan atau narapidana mengikuti perkuliahan selama menjalani hukuman penjara?

Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana, Gde Made Swardhana, menegaskan bahwa baik tahanan maupun narapidana tidak memiliki keleluasaan untuk keluar-masuk penjara, termasuk untuk urusan kuliah.

“Baik tahanan maupun narapidana ruang geraknya sangat terbatas. Kalau masih tahanan, statusnya hanya titipan dari masing-masing lembaga peradilan, tapi tetap tidak bisa bebas keluar-masuk. Apalagi kalau sudah ada putusan inkrah, itu mustahil diizinkan keluar. Kalau sampai bisa kuliah setiap hari, istimewa sekali tahanan atau narapidana itu,” ujar Swardhana saat dihubungi Sabtu (26/7/2025) malam.

Meskipun masih ada upaya hukum (banding) dari Hasto, Pakar Hukum Pidana Universitas Udayana ini menegaskan, tidak mungkin pihak Rumah Tahanan (Rutan) memberikan izin kepada tahanan bebas keluar-masuk, apalagi narapidana.

“Kalau itu terjadi, orang lain pasti irih, cemburu. Karena ini menyangkut asas keadilan “equality before the law”. Semua orang nanti akan bertanya-tanya, apakah hukum benar-benar berlaku sama untuk semua?” tegasnya.

Kriminolog Universitas Udayana ini mengakui bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk mengakses pendidikan. Namun, lembaga pendidikan tentu memiliki persyaratan, salah satunya wajib mengikuti perkuliahan. Lantas bagaimana seorang tahanan ataupun narapidana memenuhi persyaratan tersebut sementara harus menjalani hukuman?

“Saya mengakui kemauan Hasto untuk kuliah. Tapi setiap universitas tentu ada persyaratan. Kalau universitas menerima dia kuliah dengan model tidak pernah (mengikuti) kuliah, ndak pernah tatap muka karena dipenjara, tiba-tiba sudah dapat gelar sarjana hukum. Siapa yang nanti mempertanggung jawabkan mahasisnya demikian karena ndak pernah ada, ndak pernah kelihatan tiba-tiba dapat gelar, kan ini nanti timbul lagi ijasah palsu,” katanya.

Terlebih lagi, menurut Swardhana, sistem perkuliahan di perguruan tinggi pada umumnya termasuk Universitas Udayana mewajibkan mahasiswa mengikuti kuliah tatap muka minimal 75 persen dari total pertemuan.

“Tidak mungkin kuliah sepenuhnya dilakukan secara online sampai lulus. Kalau pun diperbolehkan, itu kecuali mendesak sekali. Di Universitas Udayana misalnya, boleh online satu atau dua kali, tapi tetap harus hadir fisik sebagian besar waktu,” jelasnya.

Lebih lanjut, Swardhana menjelaskan bahwa aturan di rumah tahanan (rutan) maupun lembaga pemasyarakatan (lapas) sangat ketat. Tahanan atau narapidana tidak bisa sembarangan keluar, kecuali dalam kondisi yang benar-benar mendesak.

“Misalnya untuk tahanan kalau ada orang tua meninggal atau sakit, itu pun keluar dengan pengawalan ketat. Sedangkan bagi narapidana yang sudah divonis inkrah, mereka baru bisa mendapatkan izin keluar setelah menjalani tiga perempat masa hukuman. Itu pun lewat program asimilasi dan tetap dalam pengawasan,” jelasnya.

 

Reporter: Yulius N