Pasca kekisruhan di Kabupaten Pati, Jawah Tengah, kebijakan tentang kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) kini merembet ke seluruh daerah termasuk kabupaten/kota di Bali.

Beberapa kepala daerah tingkat dua di Provinsi Bali, seperti di kabupaten Badung dan Gianyar telah mengeluarkan kebijakan menaikan PBB-P2.

Keputusan untuk menaikan PBB-P2 tentu akan membebani masyarakat, apalagi kondisi ekonomi masyarakat yang tidak stabil saat ini.

Akademisi Hukum Universitas Warmadewa, I Made Pria Dharsana mengakui bahwa PBB-P2 telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. Peraturan pajak itu dikeluarkan untuk menggantikan peraturan-peraturan terdahulu, termasuk Perppu Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961.

Baca Juga  Pengusaha SPA Gianyar "Maju Kena Mundur Kena"

Untuk sektor pajak bumi dan bangunan telah dialihkan ke pemerintah kabupaten/kota (pemkab/pemkot) hanya perdesaan dan perkotaan (PBB-P2). Sedangkan sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan (PBB-P3) masih menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Keputusan pengalihan itu tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah. Pengalihan kewenangan dilakukan sejak 2010 hingga paling lambat pada 2014.

Kendati demikian, Pria Dharsana menyatakan bahwa kenaikan PBB-P2 bisa dibatalkan oleh masyarakat.

“Masyarakat dalam satu desa atau beberapa desa secara komunal bisa mengajukan keberatan untuk menurunkan kenaikan PBB yang drastis kepada bupati/walikota,” kata Pria Dharsana, Senin (18/8/2025).

Baca Juga  Pengusaha SPA Gianyar "Maju Kena Mundur Kena"

Menurut Pria Dharsana, keberatan itu bisa disampaikan kepada kepala daerah kalau keputusan menaikan PBB-P2 tidak sesuai dengan pendapatan masyarakat.

“Ini bisa dilakukan karena naiknya cukup tinggi artinya tidak sesuai dengan pendapatan masyarakat. Apalagi ditengah terhimpitnya ekonomi masyarakat hari ini. Ditengah menurunnya daya beli masyarakat, dimana banyak terjadi PHK atau pengurangan kesempatan kerja,” jelasnya.

Bahkan menurutnya, masyarakat bisa menolak untuk membayar PBB-P2. Penolakan itu bisa dilakukan masyarakat jika penghasilan tidak stabil. “Mereka bisa jadi gak bayar pajaknya. Kan PBB boleh dibayar boleh tidak. Artinya maksudnya kalau dia kena tapi tidak punya kemampuan bayar, pasti berutanglah,” imbuhnya.

Utang yang dimaksud Pria Dharsana, itu bisa mendapat kompensasi dari Pemerintah Daerah. Masyarakat bisa mengajukan pembayaran bertahap terhadap Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Baca Juga  Pengusaha SPA Gianyar "Maju Kena Mundur Kena"

Oleh karena itu, kata Pria Dharsana, Pemerintah Daerah harusnya memberi pemahaman terlebih dahulu sebelum menaikan PBB-P2. Lantaran sebagian masyarakat tidak memahami peruntukan hasil tagih PBB-P2.

“Seharusnya bupati/walikota sedari awal menyampaikan kepada masyarakat kenapa PBB dinaikan. Sehingga ada rasa bersama bahwa membayar untuk kepentingan-kepentingan pembangunan daerah,” tandasnya.

 

Reporter: Yulius N