Denpasar – Kenaikan signifikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dikhawatirkan akan membebani masyarakat serta mengancam sektor pariwisata Bali. Kekhawatiran ini disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana.

“Kenaikan PBB-P2 tentu sangat terasa bagi masyarakat kelas menengah dan bawah karena pajak ini langsung membebani kepemilikan tanah dan bangunan,” kata Prof. Raka Suardana, Senin (18/8/2025).

Bagi kelas menengah, menurutnya, hal ini dapat mengurangi daya beli dan menggeser alokasi pendapatan yang seharusnya digunakan untuk konsumsi atau tabungan.

Sedangkan bagi masyarakat kelas bawah, terutama mereka yang memiliki lahan warisan di lokasi strategis, kenaikan PBB-P2 bisa menjadi beban berat.

Baca Juga  Wayan Koster Bakal Siapkan Perda Kendalikan Alih Fungsi Lahan

“Jika tidak ada kebijakan keringanan atau subsidi, maka risiko keterlambatan pembayaran hingga potensi sengketa lahan meningkat, sehingga bisa saja akan menimbulkan tekanan sosial dan ekonomi,” ujarnya.

Tak hanya terdampak terhadap masyarakat, Ekonom Undiknas Denpasar ini menilai pariwisata Bali yang sangat bergantung pada industri akomodasi, restoran, dan hiburan yang sebagian besar berbasis properti akan ikut terancam.

Meskipun kenaikan PBB-P2 dapat meningkatkan biaya operasional para pelaku usaha pariwisata, yang pada akhirnya bisa berimbas pada kenaikan harga layanan atau akomodasi. Namun jika tidak terkendali, hal ini dapat mengurangi daya saing Bali dibanding destinasi lain di Asia Tenggara.

“Namun, dampaknya tidak selalu negatif, jika pemerintah memberikan insentif pajak tertentu bagi usaha pariwisata berkelanjutan. Dengan kebijakan yang seimbang, kenaikan PBB bisa tetap diterima tanpa harus mengurangi minat wistawan berkunjung ke Bali,” jelasnya.

Baca Juga  Subanda Ungkap Tantangan KIM di Bali, Ridet Siap Menangkan

Selain itu, bagi investor, kenaikan PBB-P2 dapat menambah biaya kepemilikan aset properti dan lahan, sehingga meningkatkan biaya operasional investasi.

Hal ini akan dapat memengaruhi minat investor untuk menanamkan modal di Bali, khususnya pada sektor properti,
perhotelan, maupun usaha berbasis lahan.

“Investasi jangka pendek mungkin lebih berhati-hati, sedangkan investasi jangka panjang akan menilai apakah keuntungan dari bisnis di Bali masih dapat menutupi beban tambahan pajak. Jika kenaikan PBB tidak diimbangi dengan kepastian regulasi dan kemudahan investasi, maka daya tarik Bali sebagai destinasi investasi bisa sedikit menurun,” pungkasnya.

 

Reporter: Yulius N