Buleleng – Mediasi yang difasilitasi Kanwil ATR/BPN Provinsi Bali antara PT Sarana Buana Handara (PT SBH) bersama warga penggarap tanah negara di Desa Pancasari menuai sorotan tajam.

Pasalnya, mediasi tersebut dianggap membuka ruang negosiasi terhadap tanah negara yang telah ditetapkan pemerintah dalam rapat Perkim Kabupaten Buleleng tanggal 6 Januari 2025, padahal secara hukum PT. SBH sudah tidak lagi memiliki hak sejak HGB berakhir pada 2012.

Ketua Garda Tipikor Indonesia (GTI) Buleleng, Gede Budiasa menegaskan, langkah Kanwil ATR/BPN Bali justru menghidupkan kembali klaim yang sudah gugur.

“Terlihat mediasi itu ibarat menghidupkan kembali mayat hukum. Bagimana tanpa pondasi dasar hukum yang jelas Kasi Sengketa terlihat menggiring warga untuk bertanya setuju direlokasi. Hak Guna Bangunan PT SBH sudah berakhir, tanah otomatis kembali ke negara. Tapi anehnya, BPN masih saja membuka forum seolah-olah PT SBH masih bisa menawar ulang tanah negara,” tegas Budiasa, Senin (25/8).

Baca Juga  Picu Keresahan, Warga Minta Pemkab Buleleng Turunkan Plang PT SBH di Tanah Negara

Ia menilai ada indikasi serius bahwa lembaga agraria justru memfasilitasi kepentingan swasta untuk kembali menguasai tanah negara.

“Ini sinyal berbahaya. Alih-alih melindungi hak rakyat, BPN justru memberi ruang negosiasi bagi korporasi yang secara hukum sudah tidak memiliki objek,” kritiknya.

Budiasa mengingatkan, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dengan jelas menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Dengan demikian, tidak ada dasar hukum sedikit pun bagi PT SBH untuk kembali masuk dalam proses mediasi.

“Tanah negara tidak bisa dinegosiasikan, apalagi dibagi dengan pihak swasta yang sudah kehilangan hak. Ini mencederai prinsip keadilan agraria,” ujarnya.

Baca Juga  PT SBH Diduga Rekayasa Penggarap Bayangan, Kembali Cari Celah Kuasai Tanah Negara di Buyan

GTI Buleleng menilai, mediasi dari Kanwil ATR/BPN Bali patut dipersoalkan sebagai indikasi maladministrasi sekaligus penyalahgunaan kewenangan.

“Jika pola ini dipertahankan, publik wajar menilai ATR/BPN Bali bukan lagi penjaga tanah negara, tetapi justru pelayan kepentingan korporasi. Ini mencoreng marwah institusi agraria,” tambah Budiasa.

Bagi GTI Buleleng, sikap ini jelas tidak dapat dibenarkan. Ia meminta inspektorat Kementrian ATR/BPN agar turun langsung menyelidiki.

“Negara wajib hadir. BPN harus berdiri di atas hukum, bukan di bawah tekanan atau kepentingan pihak tertentu. Jika tanah negara yang jelas statusnya dipaksa dinegosiasikan dengan swasta, itu bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan dan berpotensi melanggar hukum,” tutup Budiasa.

Sementara itu, Kepala Bidang Pengendalian dan Penanganan Sengketa Kanwil BPN Provinsi Bali, Hardiansyah beralasan mediasi dilakukan untuk membicarakan keberlangsungan PT SBH dengan warga yang menempati lahan.

Baca Juga  PT Sarana Buana Handara Kangkangi Tanah Negara, Warga Tegas Tolak Somasi

“Untuk perpanjangan HGB tidak bisa langsung, karena ada belasan warga yang tinggal di sana. Makanya dilakukan mediasi supaya sama-sama dapat baiknya,” katanya.

Hardiansyah juga menyebut pihaknya memberi kesempatan kepada Perbekel Desa Pancasari untuk merumuskan kesepakatan antara warga dan PT SBH. Jika mediasi mentok, ia menyarankan agar masalah diselesaikan melalui pengadilan.