Denpasar – Menanggapi sorotan Forum Warga Setara (ForWaras) terkait isu rasisme dalam aksi demonstrasi belakangan ini, Wakil Gubernur Bali I Nyoman Giri Prasta menyatakan bahwa kritik dan pengawasan dari masyarakat maupun lembaga seperti LBH adalah sah dan konstruktif.

“Saya kira siapapun memberikan sebuah sorotan, apalagi dari LBH (Lembaga Bantuan Hukum), itu sah dan bagus,” ucap dia saat diwawancarai awak media, Selasa (2/9/25).

Mantan Bupati Badung itu menyoroti antusiasme masyarakat yang menayangkan aksi melalui akun media sosial.

“Bahkan kemarin saat demo, antusiasme masyarakat untuk mengikuti jalannya kegiatan sangat tinggi, karena ingin tahu apa yang terjadi sekaligus memberikan informasi,” ujarnya.

Giri Prasta juga menyinggung pembatasan siaran langsung di platform seperti TikTok. Menurutnya, langkah ini bertujuan untuk menghindari provokasi emosional yang dapat memicu kericuhan.

Baca Juga  Atasi Sampah, Kemacetan Hingga Wisatawan Nakal, Koster Bentuk Tim Percepatan Pembangunan Bali

“Saya kira bagus sekali juga pada saat itu live sudah diputuskan, nggak boleh lagi, apalagi TikTok. Saya kira ini biar tidak memicu daripada emosional daripada masyarakat yang dibuat. Yuk kita jaga Bali bersama-sama,” kata dia.

Sebelumnya diberitakan, Forum Warga Setara (ForWaras) mengecam pernyataan pejabat publik di Bali terkait anggapan bahwa aspirasi yang disampaikan masyarakat yang terjadi belakangan ini adalah upaya memecah solidaritas.

Pihak ForWaras Nyoman Mardika menekankan, masyarakat berhak kritis dan menyampaikan aspirasinya.

Ia menyebutkan, aksi yang terjadi belakangan ini bukan tanpa alasan tetapi dilatarbelakangi oleh kekecewaan masyarakat terhadap tingginya tunjangan DPR, arogansi anggotanya, hingga kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.

Baca Juga  Koster-Giri Janji Sekolahkan Siswa SMA-SMK Berprestasi ke Luar Negeri

Mardika juga menyesalkan pernyataan-pernyataan pejabat publik yang cenderung rasis, seperti mempersoalkan apakah massa yang ikut aksi adalah orang Bali atau bukan tinimbang membahas alasan mengapa aksi tersebut bisa terjadi.

Ia menegaskan, pernyataan-pernyataan rasis bertentangan dengan nilai Pancasila, merusak kebhinekaan, melanggar prinsip kesetaraan, berpotensi menyebabkan konflik horizontal, serta mengalihkan isu dari tuntutan sebenarnya.

“Pernyataan rasis para pejabat publik tersebut merupakan tindakan diskriminasi yang dilarang dalam UU No. 40 Tahun 2008, yakni perbuatan yang berkenaan dengan segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya,” bebernya saat menggelar konferensi pers di Kantor LBH Bali, Selasa (2/9/25).

Baca Juga  Giri Prasta Sebut Pemprov Bali Berkomitmen Tingkatkan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah

Ia menambahkan, pernyataan yang berupaya memisahkan masyarakat Bali dari politik dan kebebasan sipil bersifat ahistoris. Mardika menyinggung sejarah perjuangan rakyat Bali melawan ketidakadilan, mulai dari Puputan Badung (1906), Puputan Klungkung (1908), hingga Puputan Margarana (1946), yang menunjukkan keberanian masyarakat Bali dalam menegakkan keadilan.

“Pernyataan itu melecehkan daya pikir kritis masyarakat Bali,” tegasnya.