Barometer Bali | Badung – Polemik antara pengelola Garuda Wisnu Kencana (GWK) dan Desa Adat Ungasan kian menyita perhatian publik. Isu kepemilikan lahan, akses jalan, hingga pembangunan tembok beton di kawasan wisata budaya nasional itu kini memasuki babak baru.

Presiden Komisaris PT Garuda Adhimatra Indonesia (GAIN), Mayjen TNI (Purn) Sang Nyoman Suwisma, membeberkan fakta berbeda dari narasi yang beredar. Ia menegaskan, lahan seluas 60,7 hektare yang kini dikelola GWK merupakan milik sah perseroan, bukan aset milik pemerintah daerah.

“Yang dipersoalkan itu tanah milik GWK sendiri. Dari rencana awal 100 hektare, yang berhasil dibebaskan hanya sekitar 60,7 hektare. Sisanya tidak terjual karena harga tanah melonjak setelah proyek GWK berjalan,” ujar Suwisma, Rabu (15/10/2025).

Baca Juga  Disel Astawa Desak GWK Bongkar Total Tembok Penghalang Akses Warga

Suwisma juga meluruskan isu penutupan jalan umum. Menurutnya, GWK tidak pernah menutup akses publik, melainkan hanya mengelola jalur internal dalam kawasan. “Jalan yang pernah dihibahkan ke Pemkab Badung hanya untuk akses dari parkiran utama ke lokasi KTT G20. Jalan yang dipersoalkan sekarang masih bagian dari kawasan GWK,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia mengungkap fakta menarik di balik pembangunan tembok pembatas yang sempat menuai protes warga. Ternyata, kata Suwisma, pagar beton itu bukan inisiatif GWK, melainkan permintaan resmi Panitia Nasional G20 untuk pengamanan internasional.

“Panitia G20 yang meminta kawasan ditutup demi keamanan. Bahkan laporan sudah diterima Pak Luhut dan disetujui. Jadi bukan GWK yang menembok,” ucapnya.

Ironisnya, ia menyebut bahwa pihak yang membangun pagar justru masih satu keluarga dengan Bendesa Adat Ungasan, I Wayan Disel Astawa. “Yang menembok malah orang tuanya Pak Disel sendiri,” ungkap Suwisma.

Baca Juga  Koster Soal Pagar GWK: Tidak Ada Alternatif Lain, Harus Bongkar!

Mengenai kabar aksi massa Desa Adat Ungasan, Suwisma memastikan situasi sudah terkendali. Ia mengaku telah berkoordinasi langsung dengan Kapolda Bali untuk menjaga kondusivitas kawasan. “Kami siap berdialog, tapi demo tanpa izin tentu tidak bisa dilakukan,” ujarnya.

Isu lain yang juga diklarifikasi adalah tudingan adanya ratusan kepala keluarga terdampak penutupan akses jalan. Berdasarkan data internal GWK, jumlah warga yang tinggal di sekitar pagar beton hanya sekitar 15 KK, sebagian besar keluarga besar tokoh adat setempat.

“Tidak benar kalau disebut 600 KK terdampak. Itu data yang sangat dilebih-lebihkan,” tegasnya.

Suwisma kemudian mengulas perjalanan panjang GWK yang sempat “mati suri” sejak 1998 hingga akhirnya dibangkitkan kembali oleh grup Alam Sutera pada 2012–2013. “Selama 14 tahun proyek GWK stagnan karena pengelolaan tak jelas. Baru setelah Alam Sutera masuk, kawasan ini bisa berdiri megah seperti sekarang,” katanya.

Baca Juga  Setelah Dipanggil Koster, GWK Siap Bongkar Tembok

Namun di balik kemegahan itu, ia mengakui GWK belum memberikan keuntungan finansial besar. “Return of investment belum ada. Tapi bagi kami, GWK bukan soal untung rugi, melainkan kebanggaan bangsa,” ujarnya.

Suwisma berharap semua pihak menempuh penyelesaian dengan kepala dingin dan berpegang pada data resmi. “GWK tidak pernah berniat menghalangi masyarakat. Kami ingin tempat ini menjadi simbol kehormatan Bali dan Indonesia, bukan sumber konflik,” pungkasnya. (red)