Tiga Saksi Ahli Dihadirkan JPU, Ahli Dewan Pers Tegaskan Konten Berita Terdakwa Bukan Produk Jurnalistik
Jembrana– Sidang lanjutan dugaan pencemaran nama baik yang menjerat oknum wartawan online di Jembrana, IPS, kembali digelar di Pengadilan Negeri Negara, Kamis (23/10/25). Dalam sidang tersebut keterangan tiga saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jembrana kompak beratkan terdakwa.
Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Firstina Antin Syahrini, dengan agenda pemeriksaan tiga orang ahli yang diajukan JPU yakni Ahli Bahasa dari Universitas Udayana Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S., Ahli Dewan Pers Dionisius Dosi Bata Putra, serta Ahli Tata Ruang sekaligus Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Jembrana Putu Sumaharta.
Ketiganya memberikan pandangan dari aspek bahasa dalam berita, etika jurnalistik, hingga kesesuaian tata ruang lokasi yang menjadi objek pemberitaan. Dimana dari keterangan ketiganya memberatkan terdakwa.
Ditemui usai memberikan keterangan, Ahli Bahasa Fakultas Bahasa Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S., menilai bahwa teks berita yang menjadi pokok perkara mengandung unsur perendahan martabat seseorang akibat pemilihan kata yang tidak tepat.
Menurutnya pemilihan kata menjajah dan mencaplok yang ditulis terdakwa dalam berita tersebut tidak tepat digunakan terlebih tanpa dibarengin dengan data dan fakta. Menurutnya, seorang jurnalis seharusnya memilih diksi yang lebih netral dan didukung oleh fakta lapangan.
“Memang terjadi perendahan martabat atau serangan terhadap kehormatan orang karena pilihan kata yang digunakan. Jika terdakwa tidak menggunakan kata-kata negatif seperti mencaplok dan menjajah, hal itu bisa dihindari,” ungkapnya.
Sementara itu ahli Dewan Pers, Dionisius Dosi Bata Putra dalam kesaksian menyatakan sependapat dengan hasil penilaian yang dikeluarkan Dewan Pers tertanggal 29 Mei 2024. Dalam penilaian Dewan Pers sengketa media antara pengadu teradu tidak dapat diselesaikan menggunakan penyeselaian Undang-Undang nomer 40 tahun 1999 tenntang Pers karena berita yang diadukan menindikasikan bukan untuk kepentingan umum.
“Karena itu konten berita yang dibuat terdakwa tidak termasuk karya jurnalistik, secara otomatis itu gugur karena bukan untuk kepentingan umum,”ujarnya.
Dionisius juga mengungkapkan terlebih sebelum berita tersebut muncurl adanya percakapan (chat) antara terdakwa dan pelapor/korban, yang menurutnya menunjukkan indikasi itikad tidak baik dalam proses penerbitan berita. Ia menegaskan bahwa penyelesaian perkara ini tidak dapat menggunakan mekanisme UU Pers, karena kontennya tidak memenuhi standar etika profesi.
“Hal itu jelas bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik, Sebagai wartawan, setiap kata, mulai dari judul, lead, hingga penutup, harus dapat dipertanggungjawabkan. Setiap wartawan wajib menjalankan Kode Etik Jurnalistik,” tegas Dionisius.
Sedangkan Ahli Tata Ruang sekaligus Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Jembrana, Putu Sumaharta, menjelaskan bahwa keberadaan SPBU yang menjadi objek pemberitaan telah sesuai dengan ketentuan peraturan daerah. Termasuk kawasan di sekitar sempadan sungai telah diatur sebagai ruang terbuka hijau (RTH) dan difungsikan untuk kepentingan public.
“SPBU tersebut berada di kawasan perdagangan dan jasa sebagaimana diatur dalam Perda Nomor 11 Tahun 2012. SKTR yang diterbitkan juga sudah sesuai dengan peruntukannya. Secara estetika perkotaan, penataan di kawasan itu sudah sangat baik dan justru menguntungkan pemerintah daerah,” bebernya.
Disisi lain Kuasa hukum terdakwa Putu Wirata Dwikora, menyampaikan bahwa pihaknya tetap berpendapat berita yang ditulis kliennya merupakan karya jurnalistik.
“Kalau dilihat sepintas, berita itu jelas produk jurnalistik. Persoalannya muncul karena adanya dugaan komunikasi sebelumnya yang memunculkan tafsir berbeda,” katanya.
Pihaknya juga menilai, terdakwa telah memenuhi kewajiban jurnalistik dengan memberikan ruang hak jawab. Seharusnya sejak awal perkara ini diselesaikan melalui mekanisme UU Pers.
“Namun karena sudah berjalan disini, kami tetap membuka fakta-fakta di persidangan dan menyerahkan penilaian akhir kepada majelis hakim,” ujar Dwikora.

Tinggalkan Balasan