Desak TPA Suwung Tetap Buka, Forum Swakelola Dinilai Abai Amanat Undang-undang
Denpasar – Desakan agar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung tetap beroperasi kembali mengemuka. Kali ini datang dari Forum Swakelola Sampah Bali yang mengklaim penutupan TPA Suwung belum disertai solusi. Namun tuntutan tersebut justru dinilai memperlihatkan satu persoalan mendasar. Kegagalan menjalankan pengelolaan sampah di sumber, sebagaimana diwajibkan undang-undang.
Forum Swakelola Sampah Bali sebelumnya menggelar aksi di depan Kantor Gubernur Bali dan DPRD Provinsi Bali, menolak rencana penutupan TPA Suwung yang dijadwalkan Kamis (23/12/25). Usai aksi, ratusan truk kembali mengantre di kawasan TPA Suwung, sebuah pemandangan yang justru menegaskan ketergantungan lama pada sistem buang angkut buang.
Sejumlah sopir truk menyuarakan kekhawatiran. Kacong (45), sopir truk sampah, menilai penutupan TPA Suwung belum dibarengi solusi konkret dari pemerintah.
“Kalau belum ada lokasi pengganti, ini menurut saya kurang efektif,” ujarnya.
Namun pernyataan itu sekaligus membuka fakta lain. Selama bertahun-tahun, solusi selalu dimaknai sebagai TPA baru, bukan pengolahan di hulu. Padahal, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 secara tegas menempatkan pengelolaan sampah rumah tangga sebagai tanggung jawab kabupaten/kota, bukan semata membebani TPA regional.
Keluhan soal antrean truk berjam-jam hingga harus menginap di TPA Suwung justru memperlihatkan dampak dari sistem lama yang dipertahankan. Sampah tidak dipilah, tidak dikurangi, lalu seluruhnya dilimpahkan ke satu lokasi. Ketika kapasitas TPA ditekan, sistem itu pun kolaps.
Kacong bahkan mengaitkan kondisi tersebut dengan citra pariwisata Bali dan menyebut perlunya meniru pengelolaan sampah di negara lain. Namun ironisnya, negara-negara yang kerap dijadikan contoh justru menutup TPA secara bertahap dan memaksa pengolahan di sumber, kebijakan yang kini sedang dijalankan di Bali.
Hal serupa disampaikan Denis (42), sopir truk sampah asal Ungasan, Badung. Ia mengaku khawatir kehilangan penghasilan jika TPA Suwung berhenti beroperasi. “Kalau berhenti, kami kehilangan sumber penghasilan,” katanya.
Kekhawatiran ini menegaskan keberlangsungan TPA Suwung sebagai sandaran ekonomi justru menunjukkan ketergantungan struktural yang tidak sehat.
Pengelolaan sampah seharusnya menciptakan lapangan kerja baru di sektor pemilahan, pengolahan, dan daur ulang. Bukan mempertahankan satu titik pembuangan yang sudah kelebihan beban. Denis juga menilai pemindahan lokasi pembuangan ke daerah lain tidak sebanding dengan pendapatan yang diterimanya.
Pernyataan ini kembali menegaskan bahwa persoalan utama bukan jarak TPA, melainkan sistem pengelolaan yang belum berubah di tingkat kabupaten/kota.
Rencana penutupan TPA Suwung sendiri merupakan bagian dari kebijakan transisi menuju pengelolaan sampah berbasis sumber. Kebijakan ini telah disosialisasikan sejak lama dan sejalan dengan regulasi nasional.
Desakan agar TPA Suwung tetap dibuka tanpa perubahan sistem dinilai banyak pihak melabrak undang undang nomor 18 tahun 2008. Alih-alih para pendemo meminta percepatan pengolahan sampah di hulu, seperti di desa, kelurahan, dan kawasan asal sampah itu sendiri menuntut TPA tetap beroperasi tanpa pengolahan yang dilarang undang-undang

Tinggalkan Balasan