Denpasar – Mendengar kata Tajen (sabung/adu ayam) secara umum masyarakat akan menilai sebagai sebuah kegiatan yang identik dengan judi. Dilema, penilaian tersebut tidaklah salah, mengingat Sabung Ayam atau di Bali terkenal dengan istilah Tajen, sering dimanfaatkan sebagian orang untuk mendapatkan keuntungan berupa uang dengan cara beradu ayam jago (pejantan).

Di Bali konteks Tajen tidak hanya berkaitan dengan kegiatan ilegal yang dilarang oleh negara, lebih identik dengan tradisi yang wajib dilakukan sebagai ritual pengiring upacara keagamaan tertentu, dikenal dengan istilah Tabuh Rah yang sangat lekat dengan kehidupan keagamaan masyarakat Bali.

Menjadi sebuah dilema, ketika kebijakan hukum terkait pelaksanaan Tajen di Bali memiliki perbedaan kontras dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Masyarakat tidak begitu sulit, ketika ingin melakukan aktivitas Tajen, dengan catatan pelaksanaanya tidak disertai dengan taruhan berupa uang.

Salah satu Pengamat Sosial, Ida Bagus Udiana melihat, nilai-nilai tradisi, adat, dan budaya Tajen saat ini mengalami kelunturan. Kegiatan yang dulu sangat sakral bagi masyarakat Bali, saat ini kerap dimanfaatkan sejumlah pihak sebagai ladang mencari uang. Bahkan, dikatakannya tak sedikit oknum-oknum Aparat Penegak Hukum (APH) ikut terlibat menjadi benteng dari kegiatan-kegiatan Tajen di Bali, sehingga seolah-olah terlihat sebagai sebuah kegiatan yang legal di mata hukum.

“Kondisi saat ini dilematis sekali. Sebagai pengamat sosial di Bali, saya melihat tradisi Tajen ini sudah hilang kesakralannya. Banyak pihak dengan sengaja menjadikan Tajen sebagai wadah taruhan. Ini realita di lapangan, di seluruh Bali rata. Tajen dalam konteks judi murni dan dibiarkan oleh oknum-oknum APH,” ungkap Gus Udiana kepada wacanabali.com, Jumat (26/1/24).

Baca Juga  Demo di TPS "Rusuh", Sejumlah Polisi Terluka

Ia menyoroti, bagaimana aktivitas Tajen dalam konteks judi murni menjadi hal yang sangat biasa di mata masyarakat Bali, karena adanya benteng-benteng penjaga menjadikannya sebuah kegiatan yang seolah tidak melanggar hukum, mencemari kesakralan Tajen sehingga kegiatan tradisi ini memiliki sisi gelap yang membutakan mata masyarakat Bali.

“Mereka (APH, red) seperti ga ada gunanya lagi. Semua laporan keatas terjadi distorsi, ga sampe semua sehingga ga ada penindakan. Saya setuju Tajen, tapi tetap dalam konteks tradisi dan budaya Bali. Kembalikan kesakralannya seperti dulu, kalau mereka ga mampu menertibkan biarkan Desa Adat yang melakukan, sekarang itu ga jelas itu. Premanisme menyelimuti Tajen sehingga masyarakat takut bicara. Dimana politisi? Pemerintah? Mereka semua takut bicara karena ikut terkontaminasi,” pungkasnya.

Sejarah mencatatat pada tahun 1981, sempat ada aturan yang melarang pelaksanaan Tajen di Bali. Namun, aturannya terbatas kemudian banyak dilanggar oleh masyarakat. Mereka sengaja melanggar, menggelar Tajen secara sembunyi-sembunyi. Bahkan, setiap wilayah desa yang ada di Bali, memiliki tata cara tersendiri dalam setiap pelaksanaan Tajen.

Tajen dalam konteks judi murni jelas merupakan kegiatan yang dilarang oleh negara dan termasuk perbuatan melanggar hukum. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara tegas melarang aktivitas judi adu ayam, ketentuan tersebut diatur dalam pasal 303 KUHP, Jo. UU No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Judi Jo. PP. No.9 tahun 1981 Jo. Instruksi Presiden dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.5, tanggal 1 April 1981.

Baca Juga  Dokar Nasibmu Kini, Tersisa hanya 6 Buah

Tak main-main, hukuman bagi mereka yang melanggar adalah penjara paling lama 10 tahun dan denda mencapai Rp 25 juta. Ironisnya, sekalipun secara eksplisit hukum menegaskan bahwa segala bentuk “judi” telah dilarang dengan tegas dalam undang-undang, namun segala bentuk praktik perjudian menjadi diperbolehkan jika ada “izin” dari pemerintah.

Hal tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP), dalam pasal 1 PPRI No.9 tahun 1981 jelas melarang atau memberikan izin terhadap segala bentuk perjudian, baik dalam bentuk judi yang diselenggarakan di “keramaian” maupun dikaitkan dengan alasan lain. Namun, jika dikaitkan lagi dengan isi pasal 2 dari PPRI No.9 tahun 1981 intinya menghapuskan semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan PPRI No.9 tahun 1981 ini, khususnya yang memberikan izin terhadap segala bentuk perjudian, maka ini dapat berarti pasal 303 ayat (1) dan/atau pasal 303 bis KUHP tidak berlaku lagi.

Sepertinya, pengaturan tentang “judi” terdapat distorsi yang saling bertentangan. Satu sisi UU No.7 tahun 1974 Jo. pasal 303 KUHP mengatur tentang “judi” bisa diberi izin oleh yang berwenang, disisi lain bertentangan dengan aturan pelaksanaannya, yaitu PPRI No.9 tahun 1981, yang melarang “judi” (memberi izin) perjudian dengan segala bentuknya. Secara azas teori hukum, PPRI No.9 tahun 1981 tersebut dengan sendirinya batal demi hukum, karena bertentangan dengan peraturan yang di atasnya.

Baca Juga  Siswi di Gianyar Diduga Lakukan Upaya Percobaan Bunuh Diri, KPPAD Bali Minta Sinergi Semua Pihak

Dasar ini membuat APH hanya dapat menindak perjudian yang tidak memiliki izin, walaupun judi tersebut bertentangan dengan nilai-nilai seluruh agama yang dianut masyarakat. Sudah seharusnya para pemangku kepentingan tanggap dan segera membuat peraturan yang lebih tegas, khususnya larangan pemberian izin judi di tempat umum atau di tempat-tempat pemukiman penduduk, agar Indonesia sebagai negara yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila tetap bisa terjaga.

Mengakhiri sesi diskusinya dengan jurnalis wacanabali.com, Ida Bagus Udiana berharap kesakralan Tajen bisa kembali seperti dulu, tidak ada lagi premanisme didalamnya memanfaatkan Tajen untuk keuntungan pribadi semata, kembalikan Tajen ke tradisi semula dengan nilai-nilai kebudayaan Bali yang kental dalam sebuah ritual suci keagamaan.

“Saya berharap sisi terang Tajen Bali bisa kembali seperti dulu. Yang kegiatannya identik dengan pengorbanan suci yang tulus untuk para bhuta kala (kekuatan alam semesta yang tak terukur, red) untuk menetralisir kekuatan positif dan negatif dari alam. Tegakan hukum sebagaimana harusnya jangan sampai ada lagi oknun-oknum yang masuk angin gara-gara Tajen,” tutupnya.

Reporter: Gung Krisna

Editor: Ngurah Dibia