Denpasar – Penutupan masa kampanye Pilgub Bali yang digelar Sabtu (23/11/24) malam di Monumen Bajra Sandhi tak luput dari sentuhan pertunjukan budaya. Tidak hanya memukau, sendratari dengan lakon Senopati Bhisma ini disajikan dengan apik sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi masa kini.

Menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bali I Dewa Agung Gede Lidartawan, pertunjukan ini sejalan dengan tujuan pesta demokrasi, yakni merajut kembali harmoni usai saling adu visi dan misi.

“Artinya kita ingin mewacanakan bahwa perdebatan ideologi, visi misi, program, itu boleh saja. Namun, begitu selesai perang seperti pesan Bhisma kita bersatu membangun Bali yang shanti lan jagadhita (damai dan sejahtera),” ujarnya.

Baca Juga  Lembaga Survei KedaiKOPI Sebut Ada Dua Rasa Baru di Pilkada 2024

Senada dengan itu, Seniman Dalang berdarah Gianyar I Made Sidia mengatakan, pihaknya sengaja menggunakan kisah Bhisma dalam epos Mahabharata untuk menyoroti situasi politik saat ini. Senopati Bhisma mengisahkan tentang kesetiaan, pengorbanan, dan konflik moral yang dihadapi oleh seorang pemimpin. Bhisma merupakan contoh ksatria yang sangat setia pada sumpahnya, namun dalam perjalanan hidupnya, ia harus menghadapi keputusan sulit yang menguji prinsip dan nilai-nilai kepemimpinannya.

Perang bharatayudha dalam lakon Senopati Bhisma dimaknai sebagai arena pertempuran gagasan. Maka, dalam hal ini seyogianya para pasangan calon ‘bertarung’ menyuguhkan gagasan terbaik untuk memimpin Bali selama lima tahun kedepan.

“Kampanye itu seperti perang. Perang dalam hal ini, tidak hanya menyangkut fisik, tapi juga gagasan sehingga disampaikan dalam pertunjukan ini bahwa perang tersebut telah usai dan berakhir dengan kedamaian,” sambung pemilik Sanggar Paripurna ini.

Baca Juga  APK Baliho Kurang Efektif Sasar Pemilih Muda di Bali

Bagi Made Sidia yang bergelut dalam dunia pedalangan, tokoh-tokoh pewayangan menjadi ‘sesuluh’ (cerminan) yang baik bagi kehidupan, termasuk dalam konteks kepemimpinan. Sidia menginterpretasikan Bhisma sebagai tokoh yang tak luput dari keputusan-keputusan politis. Hal ini, sambungnya, merupakan gambaran yang tepat untuk mengkritisi dinamika politik yang terjadi.

“Bhisma berjanji untuk tidak menikah, kemudian Bhisma juga berjanji akan mengikuti sayembara tapi setelah itu ia seperti berbohong dengan tidak menikahi Dewi Amba. Maka, di bharatayudha-lah akhirnya Dewi Amba sebagai Srikandi menuntut janji dan disanalah akhirnya Bhisma tumbang,” tuturnya.

“Jika dikaitkan dengan konteks kampanye, kalau hanya menebar janji-janji kepada rakyat tanpa ditepati maka nantinya akan menjadi bumerang bagi calon pemimpin itu sendiri,” sentilnya.

Baca Juga  KPU Bali Diminta Jadikan Isu Net Zero Emissions Materi Debat Pilkada

Terakhir, akademisi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini berharap, para pemimpin Bali ke depan dapat berkiblat pada nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung dalam tokoh-tokoh pewayangan.

“Demokrasi ini ibarat seperti keropak wayang. Wayang itu dikeluarkan kemudian diperangkan satu sama lain kemudian setelah selesai dikembalikan lagi ke dalam keropak. Intinya, siapapun yang memimpin Bali kedepan mampu memberikan kedamaian,” tutupnya.

Reporter: Komang Ari