Denpasar – Proses persidangan kasus dugaan pemalsuan silsilah yang menjerat Ngurah Oka semakin menunjukkan kejanggalan. Sejumlah saksi yang sebelumnya memberikan keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidik kepolisian justru mencabut atau mengoreksi pernyataan mereka saat berada di sidang pengadilan.

Kuasa hukum Ngurah Oka, Somya Putra, menegaskan bahwa fenomena ini merupakan salah satu ciri utama kriminalisasi. “Salah satu indikator kriminalisasi adalah ketika keterangan di BAP penyidik tidak sesuai dengan fakta, lalu di persidangan saksi mengubah keterangan mereka, bahkan ada yang mencabutnya,” ujar Somya kepada wartawan di Denpasar, Rabu (12/02/2025)

Somya Putra memaparkan, keanehan ini tampak jelas dalam keterangan beberapa saksi kunci. Misalnya, AA Eka Wijaya, Winjaya, dan Robi yang dalam BAP menyebut bahwa I Gusti Ngurah Raka Ampug berasal dari Jro Jambe Suci, namun di persidangan justru mengaku tidak mengetahui siapa sosok tersebut. Bahkan, saksi Robi secara terbuka mencabut keterangannya di BAP atas keterangan tersebut.

Baca Juga  Sidang Putusan PT. Dok Ditunda, Korban: Hukum Karma Tidak akan Pernah Salah

Hal serupa juga dikatakan terjadi pada AA Ngurah Mayun, yang di BAP menyebut Gusti Gede Raka Ampug berasal dari Jro Jambe Suci. Namun, di persidangan ia mengakui bahwa informasi tersebut hanya ia dengar dari kisah kerajaan yang kalah perang, bukan berdasarkan pengetahuan langsung.

Saksi Yasantara yang sebelumnya mengklaim mengetahui 12 SPPT terkait objek sengketa di Kepisah, dalam persidangan ternyata hanya pernah membawa empat SPPT yang beralamat di Banjar Suci.

Hampir semua saksi yang hadir memberikan keterangan berbeda dari yang tercatat dalam BAP, hingga Majelis Hakim menyatakan hanya akan mempertimbangkan keterangan yang disampaikan langsung di persidangan.

Salah satu fakta yang menguatkan indikasi kriminalisasi adalah munculnya dugaan pemalsuan silsilah keluarga. Kejanggalan ini mencuat ketika AA Eka Wijaya, yang melaporkan kasus ini, awalnya tidak membawa atau mengetahui silsilah yang ia jadikan dasar laporan.

Baca Juga  Ada Apa di PN Denpasar? Sengketa Warisan Masuk Jalur Pidana

Namun, tiba-tiba di penyidik muncul dokumen silsilah yang diperlihatkan kepada saksi untuk memberikan pendapat, seolah-olah I Gusti Raka Ampug hanya satu orang dan hanya berasal dari Puri Jambe Suci.

“Bagaimana mungkin seseorang melapor tanpa membawa bukti, tetapi tiba-tiba di penyidik sudah ada dokumen silsilah yang kemudian digunakan untuk membangun narasi tertentu?” ujar Somya.

Dugaan ini semakin menguatkan bahwa ada pihak yang secara sistematis berusaha menciptakan konstruksi kasus terhadap kliennya.

Salah satu saksi yang menarik perhatian adalah Widiawan yakni mantan pegawai IPEDA. Jaksa Penuntut Umum (JPU) memberikan BAP Penyidik kepada Widiawan sebelum persidangan dan dibacakan secara terbuka olehnya, namun seluruh keterangannya menjadi tidak terpakai karena ia bukan saksi fakta. Widiawan bahkan tidak mengetahui siapa pelapor maupun terlapor, tetapi keterangannya seolah diarahkan untuk menjerat terdakwa.

Lebih jauh, fakta aneh lainnya terungkap ketika saksi Robi menyebut bahwa AA Eka Wijaya sudah ke Polda Bali pada April 2018 untuk melapor, padahal laporan resmi baru dibuat pada Juli 2018. Artinya bahwa sebelum Pelaporan l, sudah ada komunikasi antara pelapor dengan oknum Penyidik.

Baca Juga  Error in Persona? PH Jro Kepisah Yakin Eksepsi Dikabulkan Hakim

Selain itu, kejanggalan lain terlihat ketika JPU tanpa rasa malu memberikan BAP yang bersifat rahasia kepada saksi di persidangan dan membacakannya secara terbuka, meskipun hal itu melanggar asas praduga tak bersalah.

“Kami melihat ini sebagai bagian dari grand desain kriminalisasi yang menjijikkan sebuah skenario yang sengaja dibuat untuk menjadikan seseorang sebagai pesakitan demi merebut tanah milik orang lain,” tegas Somya.

Lebih lanjut, ia juga menyinggung adanya berita menyesatkan mengenai pencabutan tanda tangan mantan camat, yang informasinya sudah bocor bahkan sebelum persidangan. Menurutnya, ini semakin memperkuat dugaan bahwa kasus ini bukan murni perkara hukum biasa, melainkan rekayasa yang sudah dirancang sejak awal.