Jakarta – Belum lama ini Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri meminta kepada kepala daerah terpilih dari partai PDI-Perjuangan untuk menunda keikutsertaan mereka dalam agenda retret di Akmil, Magelang, Jawa Tengah.

Instruksi ini muncul tak lama setelah penangkapan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristianto pada Kamis (20/2/2025).

Hasto ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga terlibat dalam penghalangan penyidikan yang berkaitan dengan dugaan suap Harun Masiku kepada mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.

Lantas apa kaitannya penetapan Hasto sebagai tersangka dan penundaan kepala dari PDIP ikut retret di Magelang?

Pengamat Politik Universitas Udayana (Unud) Efatha Filomeno Borromeu Duarte mengungkap bahwa penundaan kepala daerah dari PDIP mengikuti retret di Magelang buntut penetapan Sekjen PDIP sebagai tersangka.

Baca Juga  Giri Prasta Calon Gubernur Bali? Pengamat: Sah-sah Saja!

Menurut Efatha, hal itu dilakukan Megawati Soekarnoputri sebagai upaya untuk menegosiasi ulang penetapan sekjennya sebagai tersangka.

Dalam beberapa kesempatan, kata Efatha, Ketua Umum PDIP itu telah menegaskan bahwa akan membela mati-matian sekjennya apabila ditangkap KPK.

“Jadi saya lihat memang ada beberapa faktor ya, terutama terkait upaya untuk menegosiasi ulang lagi kasus Hasto Kristianto ini gitu. Itu memang langkah yang harus diambil mengingat bahwa perdebatan atau upaya untuk menahan Hasto ini juga sudah sampai pada titik yang cukup krusial,” ungkap Efatha kepada wartawan saat dihubungi, Sabtu (22/2/2025).

Efatha menjelaskan, sikap Megawati menunda kadernya mengikuti retret merupakan langkah yang tepat untuk tetap menjaga posisi PDIP sebagai partai nomor satu.
“Ini menjadi salah satu daya tawar yang bisa dilakukan oleh PDIP agar bisa nanti kedepannya itu mungkin ya, di dalam Koalisi Indonesia Maju, PDIP bisa masuk sebagai partai dengan standar yang tinggi,” jelas Efatha.

Baca Juga  Giri Prasta Calon Gubernur Bali? Pengamat: Sah-sah Saja!

Kendati demikian, menurut Dosen Fisip Unud itu, tentu pilihan-pilihan sikap semacam itu akan berdampak buruk terhadap demokrasi Indonesia di masa mendatang.

“Para pejabat-pejabat publik itu boleh menggunakan partai dalam kontestasi. Tetapi harusnya kita dorong kalau bisa setelah pemilu itu rekonsiliasi dan tindakan-tindakan profesional itulah yang harusnya dapat publik tangkap begitu,” pungkas Efatha.

Reporter: Yulius N