Gianyar – Gubernur Bali Wayan Koster menegaskan, lahirnya Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat bukan hadiah. Itu adalah buah dari perjuangan politik panjang yang nyaris gagal, bukan sekadar regulasi yang ditandatangani begitu saja.

“Perda ini hampir tidak disetujui. Secara nasional hanya dikenal desa dinas. Hampir tidak diakui,” ujarnya, menatap para tokoh desa adat yang hadir saat membuka Pasamuhan Agung V Majelis Desa Adat Provinsi Bali di Wantilan Pura Samuan Tiga, Bedulu Gianyar Bali, Jumat (26/12/2025)

Di balik layar, Koster mengungkap menghadapi perlawanan yang tidak ringan. Di Kementerian Dalam Negeri, meja panjang dan lampu putih terang menjadi saksi bagaimana setiap pasal Perda diuji ketat. Tapi berbekal pengalaman tiga periode di DPR, memimpin dialog politik panjang, substansial, dan argumentatif dan kesabaran membawa hasil. Perda Nomor 4 Tahun 2019 akhirnya lahir, menjadi satu-satunya perda yang ia kawal langsung hingga tahap pengesahan di pusat.

Baca Juga  Banyak Rintangan, Koster Bawa Arak Bali Naik Kelas

“Bali saat itu menghadapi dilema hukum. Desa adat secara formal tidak ada. Semua mekanisme administrasi hanya mengenal desa dinas,” terang Koster.

Perjuangan ini tidak lepas dari perlawanan. Kata Koster, bagi pihak yang berseteru dengan visi Perda dan tidak ingin lahir. Perdebatan panjang terjadi, tarik-menarik kepentingan politik. Bahkan ketika perda sudah disahkan, ada pihak-pihak yang berusaha menggeser. Mungkin bagi mereka, penguatan desa adat berarti mengganggu rencana dan kepentingan dijalankan.

Kini, Perda ini bukan sekadar dokumen hukum. Ia adalah benteng identitas Bali, mengatur hampir seluruh aspek desa adat secara komprehensif. Dari hak dan kewajiban krama, pengelolaan tanah desa, hingga adat istiadat yang harus dihormati.

Baca Juga  Dua Konjen Negara Sahabat Puji Koster: Bali Aman, Pariwisata Tumbuh

“Kekurangannya wajar, tapi bisa diperbaiki di tataran pelaksanaan, tanpa harus terburu-buru mengubah regulasi yang sudah melewati proses panjang dan penuh risiko politik,” imbuhnya.

Koster mengingatkan, jangan gegabah mendorong revisi. Revisi yang salah bisa melemahkan desa adat, bahkan menghapus pengakuan yang susah payah diperjuangkan, meninggalkan Bali tanpa perlindungan hukum atas tradisinya sendiri.

“Identitas Bali bukan untuk dipermainkan, dan Perda ini adalah benteng yang harus dijaga, bukan dipolitisasi lagi,” singgungnya.

Koster juga menyiratkan pesan bagi generasi mendatang, desakan politik dan kepentingan sesaat sering menguji, tapi prinsip dan keberanian menjaga warisan budaya jauh lebih penting daripada popularitas atau kepentingan instan.

“Desa adat Bali bukan untuk ditawar, bukan untuk dipermainkan, dan bukan untuk dilemahkan oleh kepentingan pihak-pihak yang ingin menggeser akar budaya kita. Perda Nomor 4 Tahun 2019 bukan sekadar aturan, tapi monumen politik dan budaya, saksi bahwa Bali masih memiliki pelindung yang memahami nilai sejarah, kearifan lokal, dan pentingnya identitas,” tutup Gubernur Koster.

Baca Juga  Kadis Kominfos Bali Minta Media Netral di Tahun Politik