Denpasar – Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Bali Ni Luh Gede Yastini menyebutkan perkawinan anak di Bali didominasi oleh faktor kemiskinan dan kehamilan tidak diinginkan (KTD).

“Ketidakmampuan secara ekonomi ini kemudian menjadikan perkawinan perempuan usia anak terjadi. Karena keluarga menganggap ketika anak dikawinkan, maka tanggung jawab penghidupan beralih dari orang tua kepada suami atau keluarga suami,” jelasnya kepada wacanabali.com, Senin (17/7/23).

Selain itu, tak sedikit orang tua beranggapan KTD adalah aib keluarga. Sehingga, perkawinan dianggap sebagai jalan keluar untuk permasalahan tersebut.

“Sementara dari sisi adat dan budaya ada pandangan bahwa ketika terjadi kehamilan maka harus diselesaikan dengan perkawinan,” tambahnya.

Baca Juga  Bali Catat 361 Kasus Kekerasan Anak di Tahun 2024

Lebih lanjut diterangkan, terdapat sejumlah dampak dari perkawinan anak yakni, putusnya pendidikan, ancaman bagi kesehatan anak, ketidaksiapan pengasuhan, kekerasan dalam rumah tangga hingga rantai kemiskinan.

“Diperlukan upaya penguatan keluarga, edukasi dan sosialisasi yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, perketat pemberian dispensasi kawin dari pengadilan, adanya perarem (aturan adat, red) terkait perkawinan anak di desa adat dan pemerintah memastikan setiap anak wajib belajar selama 12 tahun,” imbuhnya.

Terakhir, ia berharap, peran desa adat dapat dioptimalkan dalam upaya perlindungan dan pencegahan kekerasan terhadap anak.

“Desa adat dapat menyusun pararem perlindungan anak untuk mencegah perkawinan anak. Sehingga dapat menjadi payung hukum di desa adat untuk bersama melindungi anak dan menghentikan perkawinan anak,” tandasnya.

Baca Juga  Marak Pernikahan Anak, Ipung: Itu 'Pencabulan'

Reporter: Komang Ari
Editor: Ady Irawan