Bias Permasalahan Kawasan Suci, Dwikora: Harus Diukur Dulu
Denpasar – Sekretaris Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, Putu Wirata Dwikora mengatakan polemik pelanggaran kawasan suci harus dilakukan pengukuran terlebih dahulu sebelum dikatakan melanggar.
“Untuk memastikan ada pelanggaran harus dilakukan pengukuran terlebih dahulu dengan regulasinya setelah pengukuran baru masuk pada teknis perizinan yang menjadi otoritas dari pemerintah,” ujarnya di Denpasar, Kamis (12/10/23).
Lebih lanjut mantan wartawan Koran Tempo tersebut menambahkan setelah dilakukan pengecekan oleh otoritas terkait baru dikatakan apakah bangunan tersebut dikatakan melanggar.
“Setelah dilakukan pengecekan baru bisa dikatakan melanggar, misalkan dicek perizinannya jika tidak ada sudah pasti melanggar, jika ditelusuri lebih dalam pelanggaran seperti apa yang dilakukan misalkan melanggar sempadan sungai, sempadan pantai dan lain sebagainya,” imbuhnya.
Dwikora menjelaskan perizinan dan operasional dari bangunan yang diindikasikan melanggar tersebut juga harus dicek apakah sudah sesuai atau belum.
“Misalkan di perizinan bangunan asram sedangkan beroperasi sebagai vila sudah pasti melanggar izin dan disini peran dari otoritas yang akan menertibkan,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa dalam pelayanan baik kepada investor dan masyarakat umum pemegang kebijakan harus berlaku dengan adil.
“Cara melayani investor maupun masyarakat umum harus sama berpegangan pada regulasi yang ada seperti bhisama (keputusan PHDI, red) itu dulu norma agama yang dijadikan perda dan menjadi norma hukum,” tambahnya.
Menurutnya PHDI tidak bisa mengambil keputusan mengenai pelanggaran yang terjadi, walaupun kawasan suci termasuk ke dalam bhisama PHDI.
“Dalam penindakannya harus melibatkan otoritas terkait seperti pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten serta dinas terkait seperti Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) harus berkoordinasi sebelum melakukan penindakan,” tegasnya.
ia menjelaskan bahwa dalam pembagiannya kawasan suci dibagi menjadi tiga zona dan diatur dalam Bhisama PHDI.
‘Kawasan suci dibagi menjadi tiga yaitu kawasan inti, zona penyangga dan zona pemanfaatan, di zona inti itu hutan dan tanaman, di zona penyangga bisa berdiri bangunan serta di pemanfaatan bisa didirikan dharma sala (Penginapan untuk pendeta, red) misalkan mendirikan pasar diperuntukan untuk menjual peralatan upakara,” tutupnya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya Bupati Klungkung Nyoman Suwirta mengultimatum owner (pemilik, red) penginapan atau vila Yogmantra, Dewa Made Sanjaya dan Kepala Desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan, Klungkung untuk menutup penginapan tersebut yang berjarak sekitar 50 meter seberang Pura Sad Kahyangan Jagat Goa Lawah karena melanggar radius kesucian pura.
Reporter: Dewa Fathur

Tinggalkan Balasan