Denpasar – Petajuh Majelis Desa Adat (MDA) Bali I Gusti Made Ngurah mengecam kasepekang (pengucilan warga adat, red) di Bali yang dilakukan atas dasar sentimen pribadi pihak-pihak tertentu. Pernyataan tersebut disampaikan menanggapi belakangan cukup sering muncul kasus kasepekang.

“Ada tahapan-tahapan proses pelaksanaan sanksi sosial kasepekang, tidak ujug-ujug dilakukan semau prajuru desa adat,” ujarnya kepada wacanabali.com, Selasa (17/10/23).

Pihaknya menjelaskan, kasepekang merupakan bentuk sanksi sosial yang dibenarkan dan diatur dalam awig-awig maupun pararem (aturan) desa adat.

“Dibenarkan, sepanjang sesuai dengan kesepakatan yang dibuat (warga adat, red) dan tidak dicampuri sentimen pribadi atau kelompok tertentu di Masyarakat,” terangnya.

Kasepekang, kata dia, harus dilakukan melalui paruman krama desa (rapat masyarakat adat).

Baca Juga  Bersihkan Bali dari Wisatawan “Downgrade”

“Penetapan kasepekang dilaksanakan melalui paruman krama desa, bukan oleh sekelompok orang atau prajuru desa adat saja,” tegasnya.

Sementara itu, Praktisi Hukum Adat I Made Somya Putra menilai di era kini, kasepekang sudah tidak relevan lagi dilaksanakan sebab tak jarang sanksi sosial ini semata melibatkan emosi pihak yang bersengketa.

“Mengingat kasepekang yang sekarang lebih mengedepankan panca indria (kelima indra manusia) jadi jika hanya mendengar saja perbuatan buruk tersebut tanpa melihat yang pada dasarnya perbuatan buruk seseorang sering dinilai tanpa melihat sebab seseorang berbuat demikian,” terangnya.

Selain itu, Made Somya merasa bahwa kasepekang akan memutus ayahan (hak kewajiban, kekerabatan dalam adat) yang sudah dilakukan oleh leluhur orang yang kasepekang.

Baca Juga  Bendesa Adat Nyaleg, MDA tak Larang tapi Tergantung "Pararem"

“Ketidakrelevanan kasepekang pada era sekarang juga berdampak pada hilangnya ayahan yang sudah dilakukan oleh orangtua dan leluhur si korban kasepekang, hal inilah yang ditakutkan bahkan bisa membuat korban berpindah keyakinan,” tandasnya.

Reporter: Komang Ari