Ramai Kasus Kasepekang, Agus Sumardana: Melanggar Ham!
Denpasar – Maraknya kasus kasepekang (pengucilan secara adat) mengundang pendapat berbagai pihak, salah satunya Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pemuda Sejati, Agus Putra Sumardana SH. Menurutnya sanksi kasepekang sudah masuk kedalam ranah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
“Prajuru adat ( Komponen adat, red) agar jangan gegabah dalam menerapkan sanksi itu (Kasepekang, red) karena berpotensi melanggar HAM,” ujarnya tersebut ditemui di Denpasar Rabu (18/10/23).
Bahkan, menurutnya prajuru adat dikatakan melanggar HAM karena penerapan sanksi kasepekang melanggar beberapa pasal yang diatur dalam undang-undang.
“Kasepekang melanggar ketentuan Undang-Undang Pasal 39 tahun 1999 tentang HAM, dimana setiap orang bebas untuk berkomunikasi, bergaul maupun mendapatkan informasi, sehingga hak-hak dasar manusia ini tidak boleh dicabut,” sambungnya.
Sehingga, sanksi kasepekang menurutnya sudah tidak relevan lagi diaplikasikan di era sekarang karena tidak sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
“Kasepekang sudah tidak relevan lagi dengan zaman sekarang, oleh sebab itu awig- awig (aturan adat, red) dan pararem (kesepakatan adat, red) yang mengatur kasepekang, wajib disesuaikan sesuai hukum positif Indonesia, terutama UU HAM, jangan sampai ada hak-hak dasar masyarakat dirampas oleh kelompok masyarakat manapun,” terangnya.
Dirinya menambahkan di tahun sekarang yang memasuki tensi panas akibat musim politik jangan sampai kasepekang dijadikan alat kepentingan politik.
“terlebih lagi sekarang memasuki tahun politik, jangan sampai hanya gara-gara beda pandangan dalam politik mengakibatkan sentimen pribadi, sampai-sampai prajuru adat menerapkan sanksi kasepekang,” tegasnya.
Sebagai warga adat, Agus Putra berharap agar sanksi seperti kasepekang diperbaharui dengan aturan yang relevan di zaman sekarang serta yang bersifat lebih manusiawi.
“Sebagai warga adat saya berharap agar awig-awig dan pararem yang masih mengatur sanksi kasepekang segera disesuaikan dengan hukum positif, bila perlu dihapuskan dan digantikan dengan sanksi lain yang lebih manusiawi,” pungkasnya.
Sementara itu sebelumnya, praktisi Hukum Adat I Made Somya Putra MH mengatakan maraknya kasus kasepekang yang terjadi di Bali kerap kali dijadikan sebagai alat untuk memberi makan ego dari pihak yang berselisih.
“Karena faktor suka dan tidak suka kerap mendominasi dalam mengambil keputusan, hal inilah yang kerap kali dimanfaatkan sebagai alat oleh pihak yang berselisih,” ujarnya kepada wacanabali.com, Rabu (4/10/23).
Lebih lanjut dijelaskan jika dalam pengambilan keputusan tersebut dilakukan dengan rasa ego oleh pemangku kebijakan, akan menjadi pelanggaran HAM.
“Kasepekang bisa menjadi senjata oleh mereka yang memiliki kekuasaan di bidang itu, kalau itu dilakukan dengan kekuasaan yang dimilikinya akan terjadi pelanggaran HAM,” sambungnya.
Menurutnya di era, sekarang kasepekang sudah tidak relevan lagi dilaksanakan, karena sering terjadi dalam pengambilan keputusannya mengedepankan emosi semata.
“Mengingat kasepekang yang sekarang lebih mengedepankan panca indria (kelima indra manusia) jadi jika hanya mendengar saja perbuatan buruk tersebut tanpa melihat yang pada dasarnya perbuatan buruk seseorang sering dinilai tanpa melihat sebab seseorang berbuat demikian,” tutupnya.
Seperti yang ramai di media sosial telah terjadi kasus kasepekang yang menimpa warga Banjar Adat Gelogor Carik Denpasar Nyoman Wiryanta dan Wayan Putra Jaya sekeluarga, di mana kasus tersebut sedang dilakukan upaya mediasi yang difasilitasi oleh Majelis Desa Adat (MDA) Denpasar, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Denpasar, mediasi tersebut diadakan di kantor Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, akan tetapi belum menemukan titik temu alias deadlock.
Reporter: Dewa Fathur
Editor: Ady Irawan
Tinggalkan Balasan