Denpasar – Selain menduga PT Bali Turtle Island Development (BTID) menguasai wilayah perairan dan darat Pulau Serangan melalui Peraturan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), Tokoh Masyarakat Bali, A A Gede Agung Aryawan juga mengatakan BTID telah melanggar batas kesucian Pura Sakenan dengan proyek Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang digagas.

Menurut Gungde, kawasan reklamasi Kura Kura Bali telah menodai kawasan suci Pura Sakenan, sebagaimana diatur Bhisama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat, sebagai salah satu Pura Dang Kahyangan, Pura Sakenan harus bebas bangunan komersil dalam radius minimal 2.000 meter.

“Sebagai Pura Dang Kahyangan radius kesucian sesuai Bhisamanya adalah 2.000 meter. Pura Sakenan kan Dang Kahyangan sesuai aturan Bhisama PHDI, maka Pura Dang Khayangan radius 2.000 meter sebagai area suci. Masyarakat Serangan boleh saja dibodohi. Tapi ingat, selama kesucian itu dilanggar secara niskala (gaib, red) sampai kapanpun tak akan pernah bisa mendapatkan investor yang mau mendanai proyek tersebut,” ungkap Gungde Aryawan, Senin (21/11/23).

Selanjutnya ia mengatakan, di Pulau Serangan terdapat salah satu Pura terbesar di Bali. Saat ini, BTID disebut telah membagi kawasan dengan membuat batas seolah-olah ingin memisahkan diri dari Desa Adat Serangan.

Baca Juga  Suara Kembang Kempis, Wayan Setiawan Datangi KPU Bali

Di area kawasan Kura Kura Bali saat ini, sudah ada bangunan yang berdiri kokoh dengan lantai di atasnya difungsikan sebagai kampus berskala dunia. Sementara bangunan di lantai bawah sengaja dikomersilkan untuk area bisnis perusahaan asing, sehingga pihak BTID dikatakan sudah melanggar aturan Bhisama 2.000 meter, dihitung dari titik tembok terluar Pura Sakenan.

“Ada bangunan yang dibiarkan itu, berarti sudah melanggar Bhisama PHDI. Kalau bangunan itu ternyata dikasi ijin, artinya Bhisama PHDI sudah dilanggar oleh BTID. Karena Bhisama PHDI, seperti Fatwa MUI. Kan semua aturan itu telah diputuskan bersama dalam Sabha Pandita PHDI Pusat yang memutuskan aturan berdasarkan sastra Agama Hindu,” sentilnya.

Sementara itu diberitakan sebelumnya, sejumlah warga mayoritas berprofesi sebagai nelayan di Desa Adat Adat Serangan juga sempat menggelar demonstrasi dengan membentangkan spanduk, di Area Melasti Pantai Serangan, Denpasar Selatan (Densel), Senin (30/10/23).

Aksi tersebut digelar warga yang menolak permohonan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) oleh PT Bali Turtle Island Development (BTID), terkait izin penguasaan ruang darat dan laut Desa Adat Serangan tersebut.

Baca Juga  Pendapatan Daerah Denpasar 2024 Lampaui Target, Tembus Rp3,1 Triliun

Pada kesempatan itu, juga turun langsung Bendesa Desa Adat Serangan, I Made Sedana. Ia menyoroti eksklusivitas keberadaan PT BTID di wilayah Desa Serangan. Sebab, Desa Adat Serangan sudah gerah perihal eksklusivitas di Pantai Kura-Kura Bali dan sekitarnya.

“Saya berharap sebagai pimpinan di Desa Adat Serangan, meminta kepada BTID agar melakukan sesuatu harus melibatkan masyarakat kami di desa. Jadi dengan tuntutan yang sudah kami sampaikan, saya mendukung sekali karena wilayah laut itu menjadi mata pencaharian mereka sebagai nelayan,” ujar Jro Sedana.

Selanjutnya, Zakki Hakim, Kepala Komunikasi dan Hubungan Masyarakat PT. BTID (Bali Turtle Island Development) pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kura-Kura Bali memastikan, peraturan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) merupakan hal yang wajib dipenuhi oleh BTID sebagai badan usaha, dan tidak akan berdampak bagi masyarakat atau nelayan tradisional sekitar.

Baca Juga  Dua Dapur Warga Pengeragoan Digerus Longsor

Menurutnya, sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang memiliki rencana kegiatan pariwisata bahari, termasuk pengembangan Taman Koral dan Wisata Koral, maka KKPRL wajib diajukan oleh BTID.

Berdasarkan aturan yang berlaku dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, hal tersebut mengharuskan BTID sebagai sebuah badan usaha untuk membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas areal yang dimanfaatkan. Namun, aturan tersebut tidak berlaku bagi nelayan tradisional, mereka tetap bisa melakukan kegiatan ekonomi seperti biasa.

“Menurut aturan yang disampaikan Kementerian dan Dinas, masyarakat nelayan tradisional tetap dapat berkegiatan seperti biasa,” ungkap Zakki, dikutip dari keterangan persnya, Senin (30/10/23).

Zakki mengungkapkan, kebijakan tersebut seharusnya tidak berdampak kepada masyarakat atau nelayan tradisional sekitar, mereka tetap bisa melaksanakan kegiatan sehari-hari.

Kebijakan ditujukan Pemerintah Pusat hanya untuk mendapatkan PNBP dari para pengusaha, badan usaha, atau badan hukum yang melakukan kegiatan ekonomi di ruang laut, salah satunya BTID. Namun, terkait dugaan pelanggaran batas kesucian Pura Sakenan oleh BTID, sampai saat ini pihaknya belum bisa memberikan komentar lebih lanjut.

Reporter: Krisna Putra