Refleksi HAKTP: Bagaimana Ketimpangan Gender “Dihalalkan” Konstruksi Sosial?
Denpasar – Pakar Hukum Pidana Dr. Dewi Bunga sebut perempuan kerap temui banyak hambatan dalam menyelesaikan persoalan hukum. Mirisnya, hambatan tersebut acap kali disebabkan oleh orang-orang yang berada dalam ruang lingkup terdekat korban.
“Biasanya hal itu datang dari pelapor dan keluarga itu sendiri, misalnya terlapor tidak kooperatif, pihak keluarga tidak mau jadi saksi mengatakan tidak tahu padahal tahu yang terjadi, intimidasi yang dilakukan oleh suami, keluarga besar suami bahkan melibatkan perangkat desa, atau juga sikap pelapor tidak tegas seperti ada keinginan kuat untuk melapor namun nantinya merasa kasihan dengan suaminya,” sebutnya kepada awak media, Minggu (26/11/23).
Lebih lanjut, pihaknya menjelaskan, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual misalnya, masih mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Sehingga, penghakiman terhadap korban masih sering terjadi.
“Pelakunya tidak hanya laki-laki namun juga sesama perempuan. Anggapan masyarakat terhadap korban kekerasan seksual yang masih menyalahkan perempuan, misalnya karena bersolek, karena keluar malam, mengapa tidak melawan dan sebagainya,” sambung Akademisi Universitas Hindu Negeri (UHN) I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar ini.
Baginya, perempuan adalah kelompok rentan dalam memperoleh ketidakadilan terutama pada masyarakat yang menganut sistem patriarki. Sehingga, kampanye terkait 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) ini seyogyanya direfleksikan untuk pemenuhan edukasi terkait kesetaraan gender yang dimulai dari perubahan struktural dan kultural.
“Harapan saya, semua perempuan mampu mandiri secara finansial karena hal ini akan membuat seseorang lebih leluasa dalam membuat keputusan. Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum (APH) perlu mengedukasi masyarakat terutama dari tingkat kepala desa terkait dengan isu kesetaraan gender,” tandasnya.
Reporter: Komang Ari
Tinggalkan Balasan